1. Amerika Serikat Dan Konflik Indonesia-Belanda
Belanda, Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme.. Amerika dengan tegas menempuh politik “the policy of containment” – politik pembendungan komunisme --. Truman dan Churchill memprakarsai politik anti-komunis ini, seusai Perang Dunia.
Di Asia, Amerika mula-mula mengambil sikap bekerjasama dengan dan membantu Belanda, Perancis dan Inggeris untuk mempertahankan kolonialisme, mencegah munculnya pemerintah nasional. Pemerintah-pemerintah nasional yang muncul dari perlawanan melawan kolonialisme, tentu menempuh politik anti kolonialisme, anti imperialisme. Ini memberi jalan bagi meluasnya pengaruh komunisme. Amerika Serikat tak mengingini hal ini..
Peranan Amerika Serikat jadi meningkat dalam pertarungan politik di Indonesia menghadapi konflik bersenjata Indonesia lawan Belanda semenjak tahun-tahun pertama revolusi Agustus 1945. Dalam konflik ini, sikap Amerika Serikat sangat jelas memihak dan membantu Belanda. Peralatan dan senjata yang dipakai pasukan Belanda masih memasang tanda-tanda militer Amerika Serikat, seperti truk-truk, tank-tank, pesawat terbang. Bahkan sampai bulan Januari 1949, sejumlah anggota pasukan Brigade Marine Belanda memakai pakaian yang bertulisan “US Marine” di kantong baju mereka. Amerika Serikat juga memberi bantuan keuangan untuk berlangsungnya usaha Belanda menguasai kembali Indonesia. Sebuah laporan CIA bertanggal 14 November 1947 menyatakan: “Di Indonesia dan Indocina, para penduduk setempat sudah meraba, bahwa usaha-usaha Perancis dan Belanda untuk kembali berkuasa adalah berlangsung dengan bantuan Amerika Serikat. Keresahan penduduk akan bertambah dengan meningkatnya kemampuan Perancis dan Belanda di Asia Tenggara berkat pelaksanaan bantuan Plan Marshall”. “Pada akhir 1947, ketika perekonomian Belanda dan Perancis mulai pulih, pengaruh komunis di kedua negeri itu mulai menurun. Tapi pada waktu itu, kaum komunis akan mencapai kemenangan di Tiongkok, maka menghadapi perkembangan ini Amerika Serikat menjadi kian khawatir akan perluasan pengaruh komunisme di Asia – tidak saja di Jepang, tetapi juga daerah-daerah pemberontakan anti-kolonialis – terutama di Indonesia dan Vietnam. Maka Pemerintah Truman ketika itu mendukung kembalinya kekuasaan kolonial untuk menangkal meluasnya komunisme.” 1).
Politik Amerika membantu kaum kolonial Belanda dan Perancis adalah dengan harapan: supaya kedua kekuasaan kolonial ini bisa menangkal perkembangan pengaruh komunisme. Politik ini berobah, setelah melihat adanya kemungkinan terbentuknya pemerintahan nasional yang anti komunis di Indonesia dan Vietnam. Di Vietnam, Amerika jadi mendukung Pemerintah korup Vietnam Selatan. Amerika juga sudah memperhitungkan, bahwa Belanda tak akan berhasil menundukkan perlawanan anti-kolonial rakyat Indonesia. Yang penting bagi Amerika adalah: membantu lahirnya pemerintah yang anti-komunis. Dengan demikian, "the policy of containment" dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan dalam negeri yang bersangkutan. Kaum komunis Vietnam dihadapkan pada kekuatan anti-komunis Vietnam. Demikian pula Indonesia.
Sesudah jatuhnya kabinet Sjahrir, 30 Juni 1947, Presiden Sukarno menugaskan team formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis), A.K.Gani (PNI), Sukiman (Masjumi) dan Setiajit (PBI) untuk membentuk kabinet. Karena tuntutan Masjumi untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Kementerian Dalam Negeri dan dua kursi Kementerian lainnya ditolak oleh para anggota team formatur , gagallah pembentukan kabinet. Maka mandat diserahkan kembali pada Presiden. Dan Presiden menunjuk lagi Amir Sjarifoeddin, A.K.Gani dan Setiajit untuk jadi team formatur. 3 Juli 1947 terbentuklah kabinet Amir yang pertama tanpa Masjumi, tapi mengikutkan PSII.
Amerika Serikat mencatat, bahwa walaupun Perdana Menteri Indonesia adalah Amir Sjarifoeddin yang komunis, dan sejumlah Menteri dalam kabinetnya terdapat tokoh-tokoh komunis, tapi di lain fihak terdapat oposisi berupa kekuatan anti-komunis yang sedang kian tumbuh di Indonesia. Partai Islam Masjumi dan golongan Sosialis dibawah pimpinan Soetan Sjahrir serta kekuatan yang dipimpin Tan Malaka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak bersimpati dengan Uni Soviet, bahkan anti PKI. Dengan demikian, sudah ada syarat-syarat untuk menghadapkan kaum komunis Indonesia dengan kekuatan anti-komunis Indonesia sendiri. Amerika tinggal memainkan peranan memberi arah perkembangan situasi, yang mengabdi pada pelaksanaan “the policy of containment”.
Sebagai Partai Islam, Masjumi adalah sangat tegas sejak semula anti komunis, anti URSS, anti Marxisme, anti Leninisme, anti sosialisme dan pro Amerika Serikat. Masjumi menjadikan Islam, agama sebagai dasar untuk menentang komunisme. Dengan demikian, Amerika mendapatkan sekutu atau teman sehaluan di kalangan Islam dengan inti Masjumi dalam melaksanakan “the policy of containment”nya di Indonesia.
Sesungguhnya, Kabinet Amir merupakan kabinet koalisi nasional yang kuat, yang terdiri dari Partai Sosialis 6 kursi, PNI 7 kursi, PSII 3 kursi, Non Partai 5 kursi, PBI 4 kursi, Parkindo, PKRI, PKI, SOBSI, golongan pemuda dan golongan Tionghoa masing-masing 1 kursi.. Program politik luarnegeri kabinet Amir adalah: a. Mempertahankan pengakuan de facto Negara Republik Indonesia, b. Berusaha sekuat-kuatnya melaksanakan secara damai Persetujuan Linggarjati, c. Berusaha agar Indonesia secepat mungkin harus ikut serta dalam persoalan hidup internasional sesuai dengan kepentingan kedudukannya dalam dunia.
Pemerintah Amir segera mengadakan kontak diplomatik dengan Belanda. Dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda ini, Perdana Menteri Amir sangat percaya kepada bantuan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam pedatonya 6 Juli 1947, dia menyerukan agar seluruh pengaruh Amerika dipergunakan untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Kabinet Amir percaya, bahwa Amerika sendiri mempunyai kepentingan di Indonesia, yaitu Amerika menganggap keamanan di Indonesia sebagai faktor penting untuk stabilitas politik dan ekonomi dunia. Sesungguhnya, Amerika takut, kalau-kalau pengaruh komunis makin meluas di Asia Tenggara.
Dalam langkah-langkah diplomatik yang diambil Pemerintah Amir, telah diberikan konsesi yang sangat banyak kepada Belanda, kecuali dengan tegas menolak usul gendarmerie bersama. Sikap Pemerintah Amir menolak gendarmerie bersama ini didukung oleh Badan Pekerja KNIP. Dalam keadaan perundingan sedang masih berjalan, 21 Juli 1947 Belanda menggunakan kekuatan pasukannya yang dipersenjatai dengan bantuan Amerika, menyerang daerah Republik Indonesia, dari darat, laut dan udara. Pertempuran berkobar di semua front. Di Jakarta, Belanda menduduki Kantor-Kantor Republik Indonesia, menangkap anggota-anggota delegasi yang berunding dengan Belanda, yaitu wakil Perdana Menteri A.K.Gani, Menteri Muda Luarnegeri Tamzil, Walikota Jakarta Suwirjo, Sekretaris Kabinet Ali Budiardjo.
Indonesia dilanda perang kolonial, yang terkenal dengan agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Menghadapi berlangsungnya pertempuran di Indonesia itu, di PBB, bulan Agustus 1947, Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) -- komisi jasa-jasa baik – sebagai perantara. Terbentuklah Komisi yang terdiri dari wakil-wakil Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia dan Amerika yang menjadi Ketua Komisi dipilih oleh Australia dan Belgia. Yang jadi Ketua Komisi adalah Frank Porter Graham, yang sejak semula bersikap menekan pimpinan Republik Indonesia, agar memberi bermacam konsesi kepada Belanda. Dengan demikian, Amerika telah langsung memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda. Pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang menjadi benang merah politik luarnegeri Amerika sehabis Perang Dunia kedua segera merasuk ke Indonesia.
Untuk memperkuat dukungan menghadapi perundingan dengan Belanda, yang akan diselenggarakan lagi dengan pengawasan KTN, Perdana Menteri Amir mengajak lagi Masjumi masuk kabinet. Masjumi menerima tanpa mengajukan tuntutan apapun. Maka terjadilah reshuffle kabinet hingga susunannya menjadi: Partai Sosialis 7 kursi, PNI 8 kursi, PSII 3 kursi, Masjumi 5 kursi, PBI 4 kursi, PKI 1 kursi, PKRI 1 kursi, Parkindo 1 kursi, Non Partai 4 kursi, SOBSI 1 kursi, golongan Tionghoa 1 kursi, dan golongan pemuda 1 kursi. Perundingan dilangsungkan di kapal Amerika Serikat USS Renville, di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Wakil Ketua: Ali Sastroamidjojo; anggota-anggota: Soetan Sjahrir, Dr Tjoa Siek Ien, Mr Nasroen, Ir Djuanda; anggota cadangan: Setiadjit; Penasihat 31 orang. Didalamnya terdapat wakil-wakil Masjumi dan PNI. Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wirjoatmodjo; Wakil Ketua: H.L.K.F. van Vredenburgh; tujuh anggota; dua orang sekretaris dan tiga pembantu.
Dalam proses perundingan, Belanda tetap menjalankan aksi-aksi militernya. Sementara itu Belanda mulai membentuk Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Timur. Daerah-daerah ini adalah daerah kedaulatan Republik Indonesia. Ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan Republik Indonesia.. Karena merasa kuat di bidang militer, Belanda bersikeras dalam perundingan. Bahkan mengancam dengan ultimatum, agar Indonesia menerima 12 prinsip politik yang diusulkannya. Menghadapi sikap Belanda ini, KTN di bawah Frank Graham menambahkan 6 pokok tambahan sebagai jalan kompromi agar Indonesia menerima usul Belanda. Didalamnya termasuk rencana pelaksanaan pemungutan suara, berupa plebisit. Dalam keadaan terdesak oleh batas waktu ultimatum Belanda, rombongan KTN datang ke Jogya menemui pimpinan tertinggi Republik Indonesia. Untuk berlangsungnya pertemuan itu, Perdana Menteri Amir terbang ke Singapura menjemput Soetan Sjahrir, kemudian ke Pekanbaru menjemput Wakil Presiden Hatta. Maka KTN ditemui oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin serta Soetan Sjahrir dan Haji Agoes Salim. Dicapai saling pengertian, bahwa pada akhirnya akan diselenggarakan pemungutan suara sebagai penyelesaian terakhir sengketa Indonesia – Belanda. Para politisi Indonesia yang mengutamakan menempuh jalan diplomasi, merasa 6 pokok tambahan dari KTN itu dapat menguntungkan Republik, yaitu punya harapan dengan rencana plebisit. Dalam keadaan Indonesian di- ultimatum dengan ancaman serangan militer Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit nantinya. Karena itu, Bung Karno tampil dengan semboyan baru: “From the bullet to the ballot”. Berkat saling pengertian ini, maka 17 Januari 1948, tercapai Persetujuan Renville., yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Menurut catatan L. Fischer, pembantu Menlu Dean Rusk mengenai urusan PBB, Belanda akhirnya baru menerima 6 pokok tambahan dari KTN sesudah Menlu Amerika George Marshall “secara terang-terangan menyatakan kepada Belanda, pandangan pribadinya”, bahwa dia takut akan berlanjutnya ketidak-stabilan, dan sikap bersikeras “hanyalah bisa membawa Indonesia ke bawah komunisme”. 2).Dari sini jelaslah, bahwa masalah penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, ditinjau Amerika dari pandangan bahaya menghadapi meluasnya pengaruh komunisme. Inilah titik-tolak realisasi “the policy of containment” dalam praktek. Dengan demikian, PERANG DINGIN telah merasuk ke Indonesia.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, Panglima Besar Sudirman menerima Persetujuan Renville ini. Presiden Sukarno menyatakan: “Meskipun perjanjian penghentian permusuhan ini seakan-akan merugikan Republik, tetapi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang akan menguntungkan Republik. Jika kita dapat mencapai cita-cita kita dengan melalui jalan damai, buat apa kita harus berperang ?” Tapi dengan tidak diduga-duga, Masjumi menolak Persetujuan Renville dan menarik semua Menterinya dari kabinet. Ini disusul oleh PNI dengan sikap yang sama. Pimpinan Masjumi antara lain menyatakan, bahwa 1. Situasi Republik sangat tidak stabil, 2. Kabinet yang sekarang harus secara radikal dirobah. Ketua fraksi Masjumi dalam KNIP dalam konferensi pers menyatakan, bahwa Persetujuan Renville itu adalah masalah kedua; yang pertama adalah masalah mengganti kabinet. 15 Januari 1948, Masjumi menarik Menteri-Menterinya dari kabinet, karena tidak setuju dengan “gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang diterima oleh Pemerintah Amir”. Mundurnya Masjumi dari kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII di Jogyakarta, yang menuntut pengunduran Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri., menuntut pembentukan kabinet presidentil dan menolak Amir jadi Perdana Menteri. Amir Sjarifoeddin sangat kecewa mengenai sikap Masjumi ini, karena wakil Partai ini ikut dalam proses perundingan. 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandat kepada Presiden. Dan Presiden menugaskan Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet.
2. Kabinet Hatta Dan Penyingkiran Golongan Kiri.
26 Januari 1948 terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, PBI, Pesindo dan SOBSI. Amir Sjarifoeddin terpilih menjadi salah seorang pimpinannya. FDR menuntut kabinet presidentil Hatta dirobah menjadi kabinet parlementer., menentang program “rasionalisasi dan rekonstruksi” Angkatan Bersenjata. FDR tetap berusaha menggalang persatuan nasional.
12 Februari 1948, Soetan Sjahrir dan golongannya memisahkan diri dari Partai Sosialis, keluar dari “Sayap Kiri”dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Dalam Peraturan Dasarnya fasal 1 tercantum: Asas-tujuan: “PSI berdasarkan faham sosialis yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan”. PSI menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS dan negara-negara sosialis lainnya, menentang sistim kenegaraan URSS.. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah “sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang. Penghargaan pada pribadi orang seorang didalam pikiran serta didalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini, yang sebenarnya menjadi inti ajaran dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engles dsb. Sosialisme semestinya tiadalah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka, untuk menyumbangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan"” 3). Ditinjau dari bidang teori, pandangan ini telah mencampakkan ajaran klas dan perjuangan klas yang merupakan salah satu batu alas ajaran-ajaran Marx dan Engels, telah menempatkan pribadi perseorangan sebagai yang utama dan bukannya kolektivitas sebagai yang utama dalam membangun sosialisme. Ini jelas bukan ajaran Marxisme, tapi adalah liberalisme, yang menjadi “way of life” Amerika. Di bidang politik, PSI bukannya menempatkan URSS sebagai sahabat, tapi menyamakannya dengan Amerika Serikat sebagai kubu yang menjadi lawannya. Bahkan menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS. Dan dalam politik praktis jadi bersahabat dengan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Dengan demikian, PSI telah menempatkan diri sebagai unsur yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam melaksanakan “the policy of containment”, membendung meluasnya pengaruh URSS, membendung komunisme di Indonesia, melancarkan PERANG DINGIN di Asia. Begitu terbentuk, PSI menyatakan mendukung kabinet Hatta, dan dengan keras menuduh Partai Sosialis “telah menyeleweng dari prinsip-prisnip semula”, “tidak mempunyai pimpinan yang stabil”, “telah memecah belah kekuatan nasional dan mengambil posisi yang tidak tepat terhadap kabinet Hatta”..
Terjadinya perpecahan dalam Partai Sosialis, tidak terlepas dari pengaruh menajamnya kontradiksi dalam gerakan sosialisme internasional. PERANG DINGIN telah mempertajamnya, hingga terjadi perpecahan dalam kerjasama antara kekuatan komunis dan sosialis di Eropa. Barat Bertentangan dengan Partai-Partai Komunis, Partai-Partai sosialis Eropa Barat mengambil sikap mendukung Plan Marshall yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membendung pengaruh URSS, membendung komunisme di Eropa. Kaum sosial demokrat, yaitu Partai-Partai sosialis mengedepankan semboyan “jalan ketiga”, yaitu tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Demikian tajamnya pertentangan ini sampai merasuk ke dalam Kominform, yaitu badan kerjasama Partai-Partai Komunis dan Partai Pekerja Eropa Timur, URSS, Perancis dan Itali di bidang informasi. Liga Komunis Yugoslavia dipecat dari Kominform. Yugoslavia menempuh jalan tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Dan Yugoslavia tidak menentang Plan Marshall, malah mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Hal yang serupa terjadi di Indonesia dengan lahirnya PSI dibawah pimpinan Sjahrir. Semenjak kabinet pertama RI, dalam pemerintah terdapat kerjasama Menteri-Menteri komunis dan sosialis sampai kabinet Amir Sjarifoeddin. Kerjasama ini berobah dan memuncak jadi pecah semenjak lahirnya PSI. Bertolak belakang dengan politik PKI, politik “netral” atau “jalan ketiga” yang ditempuh PSI adalah sama dengan yang ditempuh kaum sosial demokrat Eropa Barat yang dalam prakteknya adalah memusuhi URSS dan bersahabat dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhasil mendapatkan kekuatan lagi untuk melancarkan “the policy of containment”nya di Indonesia. Ini mempunyai jengkauan jauh ke depan untuk masa yang panjang. Kaum sosialis kanan menjadi salah satu tiang penyangga kekuatan komunisto-fobi dan pengaruh Amerika di Indonesia.
“11 Maret 1948 Menteri Seberang Lautan Belanda Jonkman sudah menyarankan kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, supaya masalah membasmi komunisme dikemukakan kepada pimpinan Republik Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari wakil Amerika Serikat dalam KTN..” 4). Pada waktu itu, Van Mook menjawab, bahwa pengaruh komunis di Republik belumlah cukup kuat untuk membenarkan pembicaraan menyangkut hal ini.. Dengan terjadinya persetujuan Suripno mengenai pengakuan URSS atas Republik Indonesia, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan kekuasaan negara komunis sudah menjadi lebih menonjol. 5).. Dalam keadaan Van Mook belum diizinkan Pemerintah Belanda untuk menjalankan “aksi polisionil” yang kedua – karena ini menyangkut Pemilihan Umum di Belanda dalam bulan Juli --, maka Van Mook memutuskan, bahwa perundingan selanjutnya dibawah pimpinan KTN sudah tak berguna, dan 3 Juni dia menyatakan kepada KTN bahwa akan menempuh berunding langsung dengan Perdana Menteri Hatta. 4 Juni 1948, Van Mook menulis surat kepada Hatta, mengundangnya untuk melakukan perundingan langsung. Hatta menjawab 8 Juni 1948, menyatakan bersedia bertemu dengan Van Mook secara informal, tapi pembicaraan dibawah pimpinan KTN tidak boleh dihapuskan.. Berlangsung tiga kali pertemuan antara Van Mook dan Hatta. Dalam pertemuan yang berlangsung tanggal 16-17 dan 23 Juni 1948, Van Mook meminta agar Hatta menjauhkan pemerintahnya dari persetujuan dengan URSS yang telah dicapai oleh Suripno.. Hatta menjawab, bahwa pemerintahnya tidak akan meratifikasi peretujuan ini, tapi tak akan mengumumkannya secara terbuka, karena takut akan mendapat kesan tidak baik dari Uni Soviet dan pemerintah-pemerintah komunis lainnya. .
Dalam bulan Agustus 1948 tersebar berita tentang berkobarnya pemberontakan bersenjata komunis di Malaya. Pemerintah Inggeris dan Amerika berbeda pandangan dalam hal menghadapi masalah ancaman komunis. Inggeris sudah membayangkan akan terjadinya “perebutan kekuasaan oleh komunis” di Indonesia. “Pejabat Kementerian Luarnegeri Inggeris seperti Dening mendesak Pemerintah Belanda supaya mencapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta, sebelum terjadinya perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Pemerintah RI yang dipimpin komunis pasti akan membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Jika ini terjadi, Pemerintah Belanda supaya menjalankan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya, jika tercapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta sebelum kaum komunis merebut kekuasaan, ini akan menyebabkan Pemerintah Belanda berdiri di fihak Pemerintah Republik melawan kaum komunis.”.6). Dimata penguasa Inggeris, ancaman perebutan kekuasaan oleh kaum komunis adalah satu kesempatan untuk mendessak Belanda buat mencapai persetujuan dengan Indonesia. 7). “Dalam pada itu, bagi Amerika Serikat, obat mujarab bagi penyelesaian situasi Indonesia adalah memperkuat tangan Hatta yang moderat melawan kaum komunis”.8). Di kalangan penguasa Inggeris dan Amerika telah mateng fikiran tentang perebutan kekuasaan oleh kaum komunis di Indonesia, sebelum terjadinya “Peristiwa Madiun”. Tangan-tangan merekalah yang mengendalikan perkembangan situasi, hingga menjadi kenyataan dalam berita tentang apa yang dikatakan “pemberontakan komunis di Madiun” itu. Inilah realisasi “the policy of containment” di Indonesia.
20 Mei 1948, FDR bersama Masjumi, dan PNI memperingati hari “Kebangunan Nasional”. Kegiatan ini diteruskan dengan usaha untuk menyusun bersama suatu “Program Nasional”. Penyusunan Program Nasional dilakukan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari: Mr. A.M.Tambunan (Parkindo), Sujono Hadinoto (PNI), Amir Sjarifoedin (Partai Sosialis), D.N.Aidit (PKI), Setiajit (PBI) M.Saleh Suhaidi (Masjumi) dan Maruto Nitimihardjo (Partai Rakyat). Mr. A.M.Tambunan menjadi Ketuanya. Amir Sjarifoeddin memegang peranan penting dalam rapat-rapat Panitia. Amir Sjarifoeddin menekankan agar dasar negara diambil saja “Pancasila”, “para petani harus memiliki tanah sendiri, oleh karena itu, setiap petani yang tidak memiliki tanah harus diberikan tanah kepadanya”. Tugas Panitia selesai tanggal 23 Juni 1948. 27 Juni 1948 diadakan pertemuan dengan Pemerintah dan wakil partai-partai untuk membicarakan Program Nasional yang telah dihasilkan Panitia. Pemerintah menerima baik rumusan Program Nasional. Dalam Program Nasional antara lain dirumuskan:”industri-industri vital harus dinasionalisasi tanpa ganti rugi, harus disusun undang-undang agraria yang baru dengan menekankan pemilikan perseorangan atas tanah tanpa sisa-sisa kekuasaan feodal”.
10 Juni 1948, Critchley, Australia, dan Du Bois, pengganti Frank Graham, wakil Amerika, mengajukan suatu “usul kompromi” untuk mendamaikan Republik dengan Belanda, dimana ditetapkan antara lain, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, bahwa Angkatan Perang harus dikurangi, bahwa Republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah federal sementara dll. 9). 16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook. 10). 17 Juni 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah Republik sebagai suatu hal yang baik” 11).
Juli 1948, Sekretariat Pusat FDR mengeluarkan sebuah rencana kampanye, memberikan petunjuk bagaimana kampanye untuk terbentuknya suatu pemerintah front nasional dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rencana kampanye yang dikirimkan ke daerah-daerah dengan melalui pos itu, kemudian dipalsu, antara lain oleh harian MURBA, Solo, dimana ditambahkan seolah-olah rencana kampanye itu memuat soal “penggedoran, pencurian, pembunuhan, dll.” Pemalsuan ini, baik oleh Sekretariat FDR Surakarta maupun oleh sekretariat pusat FDR diadukan sebagai perkara kepada polisi, untuk diusut dan diadili. Tetapi fihak kepolisian maupun kejaksaan tidak mengurus pengaduan itu. Dokumen FDR ini juga diumumkan dalam semua harian di Jogjakarta, Juli 1948. 12).
2 Juli 1948, Komandan Divisi IV, Divisi Panembahan Senopati, kolonel Sutarto, dibunuh dengan tembakan pistol. 13). “…Amerika berkali-kali menyebut kolonel Sutarto dan jelas menamakannya sebagai musuh No. 1” 14)
Sejalan dengan ofensif PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat di Eropa dengan Plan Marshall, persiapan-persiapan pembentukan Pakta Militer NATO, membangun “jembatan udara” ke Berlin Barat, Amerika Serikat memperkuat petugasnya untuk menghadapi perkembangan Indonesia dalam rangka melaksanakan “the policy of containment”.di Asia.. Amerika Serikat menngganti wakilnya dalam KTN dengan Merle H.Cochran. Disamping itu, G.Hopkins (penasihat politik luarnegeri dari Presiden Truman), John Coast, Campbell, dan 5 “diplomat” lainnya, yang bertugas melaksanakan “the policy of containment” di Asia Tenggara, dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Jogjakarta. “Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle H.Cochran mampir di Belanda, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah bahaya komunis dan aksi-aksi subversi”. 15). Amerika khawatir dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi akan meluasnya pengaruh URSS ke Indonesia.
Sesudah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia, memenuhi instruksi Presiden Sukarno dalam bulan Januari 1948, Suripno yang mendapat mandat, melakukan perundingan-perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia. Perundingan juga dilakukan dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS mengakui Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Pengakuan ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Amir Sjarifoeddin, karena waktu itu berlangsung perundingan-perundingan dengan Belanda yang menyangkut masalah pengakuan de jure Indonesia yang dipersengketakan. Dalam Persetujuan Renville terdapat formulasi, yang menurut interpretasi Belanda, Republik Indonesia dilarang melakukan hubungan luarnegeri dengan bebas.
26 Mei 1948, Pemerintah URSS mengumumkan, bahwa telah meratifikasi persetujuan pengakuan atas Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Bagi Pemerintah Hatta timbul masalah: membuka hubungan diplomatik dengan URSS atau tidak. Dengan mengakui, bahwa Republik Indonesia berada di daerah pengaruh Amerika Serikat, secara resmi, politik luarnegeri Hatta adalah menempatkan URSS dan Amerika Serikat dalam kedudukan setara, dan tidak memihak salah satu. Dalam paktek, Amerika telah menempatkan perwakilannya, bahkan campur tangan langsung menengahi pertikaian Indonesia Belanda. Tanpa mengambil keputusan mengenai pembukaan hubungan diplomatik dengan URSS, Hatta memanggil kembali Suripno pulang.
Pada pertengahan Februari 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi angkatan perang, yang pada hakekatnya dan prakteknya ditujukan untuk: 1. Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer. 2. Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal kedalam Angkatan Perang RIS.
Pertengahan Februari 1948, kolonel A.H.Nasution datang di Jogya sebagai komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Dengan datangnya pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah Republik, maka terjadi perobahan imbangan kekuatan antara pasukan yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta. Siliwangi menjadi pasukan elite yang mendukung pelaksanaan program rasionalisasi. Dan Nasution datang dengan membawa konsep struktur baru kekuatan bersenjata Indonesia dengan mengurangi kekuatan bersenjata teritorial menjadi tiga divisi di pusat daerah Republik Indonesia, ditambah dengan satu kesatuan cadangan yang mobil, termasuk divisi Siliwangi. Kekuatan bersenjata yang sebelumnya dipersenjatai dalam perbandingan satu senjata untuk tiga orang, dirobah menjadi tiap orang memegang senjata hingga mampu memiliki daya tempur offensif. Dengan demikian, TNI Masyarakat – kelanjutan dari Badan Perjuangan – harus didemobilisasi. Demikian pula pasukan-pasukan reguler yang tidak memenuhi syarat-syarat disiplin militer harus didemobilisasi. Reorganisasi ini menimbulkan pertentangan tajam, karena menyangkut perpindahan dan penggantian kedudukan kepemimpinan dalam pasukan. Pergesekan terjadi di kalangan para perwira yang tergabung dalam kelompok-kelompok pasukan bersenjata. Karena divisi Siliwangi mendapat kedudukan yang istimewa, yaitu status elite dari Pemerintah Pusat, maka timbullah iri hati antar pasukan. Banyak yang menggerutu, merasakan kesatuan-kesatuan yang berasal dari Jawa dianggap sebagai pasukan kelas dua. Ini adalah suatu langkah untuk melaksanakan rencana bersama dengan Belanda, buat pembentukan satu Tentara Federal yang baru. 4 Mei 1948 diumumkan satu dekrit Presiden mengenai rencana ini. Timbullah protes keras dari kalangan kekuatan bersenjata. 30 Komandan batalyon menemui Presiden pada tanggal 1 Juni 1948 untuk menuntut pencabutan dekrit ini. Sejumlah Panglima Divisi, terutama kolonel Sungkono dari Kediri dan kolonel Sutarto dari Surakarta menolak untuk menyerahkan kedudukannya.dalam rangka rasionalisasi. Rasionalisasi jadi bagaikan terbentur, karena Panglima Besar Sudirman mengeluarkan surat edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari fihak Belanda. 16).
Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program Rasionalisasi dan Rekonstruksi; karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah konferensi Sarangan., yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, tuan Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luarnegeri dari presiden Truman, dan Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang Indonesia: presiden Sukarno, Mohamad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”. 17).
Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red Drive Proposals” (Usul-Usul Pembasmian Kaum Merah). Dengan Kaum Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, tetapi semua aliran dan elemen yang anti-imperialis. Tentang biaya untuk menjalankan “Red Drive Proposals” yang sudah disetujui kedua belah fihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dollar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, “Red Drive Proposals” adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh petugas Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis. 18). Semenjak itu, ajakan-ajakan PKI untuk bekerjasama dengan Masjumi selalu ditolak. Dan Masjumi secara terbuka mengumumkan politik anti-komunisnya, serta dengan giat melancarkan propaganda anti-komunis.
“Red Drive Proposals” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi. Tiap-tiap kejadian yang buruk dilemparkan kepada FDR atau kepada PKI. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Kesatuan Mobrig Bojonegoro yang dipimpin oleh Asmaun, anggota Partai Sosialis, dilucuti dan Asmaunnya sendiri dipindah ke Jogjakarta. Pemerintah mengirim R.Sukamto, Kepala Polisi Republik Indonesia ke Amerika. Untuk keperluan melakukan “pembersihan”, fihak pimpinan kepolisian minta bantuan Panglima Besar Sudirman, tapi ditolak dan oleh beliau diminta supaya pembersihan bersifat umum dan jangan hanya ditujukan kepada orang-orang kiri saja.
Serikat-Serikat buruh dipecah-belah dengan didirikannya Serikat Buruh Islam Indonesia, Serikat Buruh Nasional, Serikat Buruh Merdeka, Serikat Buruh Merah-Putih. Dewan Pimpinan Pemuda daerah-daerah dengan sengaja dikacau oleh “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” yang dibiayai Pemerintah dan dipimpin oleh Pamong Praja. “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” ini persis mencontoh “Gerakan Hidup Baru” di zaman Jepang.
Program Rasionalisasi dan Rekonstruksi Pemerintah Hatta mendapat perlawanan dimana-mana. Di Jawa Timur 20.000 pemuda berdemonstrasi menentang rasionalisasi yang didasarkan penetapan Presiden No 13 yang tidak adil. Juga di Solo prajurit-prajurit dari kesatuan Panembahan Senopati (Divisi IV) sebanyak 5.000 orang pada peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 mengadakan demonstrasi menolak rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi.
Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, suratkabar Murba menyiarkan dokumen palsu FDR, yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR mengenai usaha untuk menyabot Republik Indonesia. Dalam dokumen palsu FDR yang disebarkan itu dinyatakan bahwa: akan dilakukan aksi-aksi: “a. Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demonstrasi, b. Mengadakan pemogokan-pemogokan, c. Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan, d. Perampasan kekuasaan”. 19).. Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Perdana Menteri Hatta, dalam pedatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948, menyatakan “PKI merebut kekuasaan di Madiun”. Sekretariat Pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman di beberapa suratkabar di Jogja ketika mengetahui adanya dokumen palsu FDR yang disebarkan. Juga telah mengadukan masalah ini kepada fihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah melalui pos, jadi tidak ada sifat kerahasiaannya.
3 Juli 1948 berlangsung teror pembunuhan terhadap kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV. Sutarto adalah pengikut setia dari gerakan demokrasi rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI. Tidaklah mungkin, FDR menteror dan membunuh seorang perwira penting yang memihak FDR. Sutarto adalah perwira yang dengan tegas menentang program Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Sikapnya ini sangat merugikan pelaksanaan Program kabinet Hatta.
Pertentangan di kalangan kekuatan bersenjata kian menajam, sebagai akibat rasionalisasi program Pemerntah Hatta. Divisi Siliwangi menjadi kekuatan inti dalam melaksanakan program rasionalisasi itu. Awal Juni 1948, dengan mendapat restu Pemerintah Hatta, atas inisiatif Partai Buruh Merdeka, dan sejumlah organisasi yang pro Tan Malaka, didirikanlah organisasi politk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). GRR secara terbuka menentang FDR. Tak lama sesudah pembentukan GRR, Pemerintah Hatta membebaskan para tahanan Peristiwa Juli 1946, -- Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan Amir--. Pada kesempatan peringatan ultah Hari Kemerdekaan, 17-8-1948, Pemerintah Hatta memberikan amnesti umum bagi semua yang dipenjarakan karena Peristiwa 3 Juli 1946. Maka dibebaskanlah tokoh-tokoh Front Perdjuangan: Muhammad Yamin, jenderal mayor Sudarsono, Achmad Soebardjo,, Iwa Kusumasumantri, Budiarto Martoatmodjo dll. 20). Disamping kekuatan Majumi dan PSI, kekuatan anti-komunis, anti-PKI, anti-FDR bertambah lagi dengan kekuatan pendukung golongan Tan Malaka.
5 Agustus 1948, Dr Muwardi dari Solo, dari Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipanggil Pemerintah untuk didengar keterangannya mengenai FDR, terutama mengenai kekuatan FDR.”Dr Muwardi mendapat biaya 3 juta ORI (Uang Republik Indonesia) untuk memancing suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak”.21).
3. Musso Kembali.
Awal Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia. 13 Agustus 1948, bersama Suripno, Musso menemui Bung Karno. Dalam pertemuannya, Bung Karno memeluk Musso, dan Musso memeluk Sukarno. Bung Karno berkata: “Kok awet muda ?” Jawab Pak Musso: “O, ya. Tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda”. Pembicaraan berjalan dengan lancar. Dengan bangga Bung Karno menceriterakan pada Suripno, tentang pergaulannya dengan Pak Musso dijaman yang lampau. Ia diantaranya menuturkan: “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia memang jago pencak. Juga orang yang suka musik. Kalau berpedato, ia akan nyincing lengan bajunya”. Agak panjang lebar ia mengutarakan riwayat pergaulannya dengan Pak Musso. Pembicaraa berlanjut, sampai pada soal Yugoslavia dengan Titonya, yang baru-baru ini menarik perhatian dunia. Apa sebab Tito dicaci maki oleh Kominform ? Mengapa Partai Komunis Yugoslavia dicela oleh Kominform ? Pak Musso menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sebisa-bisanya dan sejelas-jelasnya. Bung Karno bertanya: “Apakah yang dimaksud itu, bahwa Partai Komunis disana tidak memegang rol menjadi avantgardenya perjuangan rakyat Yugoslavia ?” Mendengar pertanyaan Bung Karno itu, Pak Musso ternganga dan dari mulutnya keluar kata-kata: “Lho, kok tahu ?”. Bung Karno membela diri dengan kata-kata: “Saya ini ‘kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto dan Pak Musso”. Ia untuk membuktikan itu lalu mengambil sebuah kitab yang dikarangnya, yaitu “Sarinah”. Ia menunjukkan halaman-halaman dimana ia mensiteer kata-kata Lenin, Stalin dan lain-lain, Buku itu lalu diberikan kepada Pak Musso sebagai tanda mata, dan dihalaman terdepan ia tulis: “Buat Bung Musso, dari Penulis. Djokjakarta 13-8-1948”. Sebelum berpisah, Bung Karno minta supaya Pak Musso suka membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi. Jawab Pak Musso tak panjang: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen !” 22).
Sekembalinya Musso ke Indonesia, alat-alat media massa di daerah pendudukan Belanda secara besar-besaran mempropagandakan berita-berita sensasional anti-komunis. Harian “Het Dagblad” di Jakarta menulis, bahwa “Musso kembali bukan saja dengan diiringi oleh Suripno, tapi dengan sebuah pasukan komando berjumlah 20 orang Russia, yang oleh Suripno ditinggalkan di Bangkok, dan selalu siap menunggu panggilan ke Jawa”. Harian “Niewsgier”, koran resmi Pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menulis: “Walaupun tak ada fakta-fakta, Musso yang telah tinggal 25 tahun di Russia, pulang tentu dengan membawa instruksi-instruksi dari Moskow !” Analisa-analisa yang demikian ditulis dalam berbagai artikel: “Musso dan para sahabatnya bisa dengan gampang menggunakan situasi yang sudah rumit di Indonesia demi kepentingannya. Dalam hubungan ini, surat kabar resmi di daerah pendudukan mengajukan pertanyaan: “Bisakah Pemerintah Hatta membendung meluasnya pengaruh Musso dan fikiran-fikirannya ataukah membiarkannya ?” 23).
Segera setelah kembalinya ke tanah air, Musso aktif bersama kawan-kawan lama dan baru membangun kekuatan revolusioner yang bersatu padu. Kedalamnya termasuk anggota-anggota CC PKI Sardjono, Alimin, Maruto Darusman, Suripno, pimpinan Partai Sosialis yang baru Amir Sjarifoeddin, Abdoelmadjid, Tan Ling Djie, Ketua Partai Buruh Indonesia Setiadjid dan banyak lainnya. 14 Agustus 1948, dalam organ Front Demokrasi Rakyat, “Revolusioner”, dimuat artikel Musso: “Usul-Usul Tentang Front Nasional”. Untuk pertama kali, sekembalinya di tanahair, Musso memaparkan rencana lebih lanjut mengembangkan revolusi pembebasan nasional atas dasar front persatuan nasional anti-imperialis. Dia menulis: “Kelemahan revolusi nasional kita sejak semula sampai sekarang ini adalah tidak adanya Front Nasional”. Sehubungan dengan ini, Musso menyerukan kepada segenap pimpinan partai-partai untuk secepatnya mengadakan perundingan. Dengan berdirinya Front Nasional, maka seharusnyalah dibentuk pemerintahan koalisi. “Kabinet harus dirobah menjadi kabinet Front Nasional yang terdiri dari wakil-wakil kalangan yang paling luas. Dengan demikian akan lenyaplah oposisi yang memperlemah persatuan dan pertahanan”.
16 Agustus 1948 dimuat tulisan Musso dalam organ “Revolusioner” mengenai selfkritik dalam Revolusi Nasional, mengenai. kesalahan-kesalahan prinsipieel dalam revolusi, dan mengenai jaminan kemenangan revolusi. Dikemukakan, bahwa wakil klas buruh Indonesia sekarang ini tidak menduduki tempat dalam pemerintah. Ini akan menyebabkan pemerintah tak akan menjalankan politik revolusioner anti-imperialis. Karena itu, terdapatlah bahaya yang nyata, bahwa republik akan jatuh ke dalam pengaruh imperialisme. Bahaya ini diperdalam lagi, karena masih dipertahankannya aparat-aparat kekuasaan kolonial, aparat yang pada hakekatnya anti rakyat; demikian pula belum diselesaikan tugas merobah kekuatan bersenjata menjadi betul-betul tentara rakyat, yang dibangun dari rakyat untuk membela rakyat. Menurut Musso, kesalahan umum revolusi kita adalah sejak semula bersifat defensif. Ini tampak dalam hubungan revolusi dengan hak milik kaum kolonial. Akibatnya ialah: tak terpecahkannya masalah agraria, tak berlangsung reform agraria. Selama tiga tahun semenjak pecahnya revolusi, Belanda terus menerus menyerang kita. Musso optimis, bahwa betapapun banyak kesulitan, revolusi pembebasan nasional mempunyai harapan untuk menang, jika dijamin adanya persatuan rakyat dan demokrasi di tangan negara. 24).
20 Agutus 1948 di Jogyakarta berlangsung rapat raksasa yang dihadiri 50.000 orang, dimana Musso berpedato. Pada saat itu telah berkembang kampanye anti-komunis dengan berbagai macam fitnah. Tapi, besarnya minat rakyat pada rapat raksasa ini menunjukkan meningkatnya pengaruh PKI dengan kedatangan Musso Untuk pertama kalinya, Musso berpedato di depan umum, mengemukakan pentingnya mengganti kabinet presidentil menjadi kabinet front nasional, dan demi kepentingan revolusi nasional, republik harus menggalang kerjasama dengan kalangan luas internasional yang memihak republik, terutama dengan URSS. Sebagai langkah pertama, Musso menyerukan untuk meratifikasi persetujuan penggalangan hubungan diplomatik dengan URSS secepat mungkin. Ini akan membantu untuk mematahkan blokade yang dilakukan Belanda. 25). Seruan Musso didepan rapat raksasa untuk meratifikasi hubungan diplomatik dengan Uni Soviet, jelas tidak menyenangkan Amerika Serikat. Dan Pemerintah Hatta juga tak berkenan melakukannya.
21 Agustus 1948, Politbiro CC PKI mengajukan inisiatif untuk menyatukan PKI dengan Partai Sosialis Amir Sjarifoeddin, dan Partai Buruh yang sudah tergabung dalam FDR, menjadi satu-satunya Partai Komunis Indonesia.. Dalam satu pernyataan khusus dinyatakan: “Politbiro CC PKI mengusulkan, untuk mengoreksi kesalahan di masa lalu, menyatukan tiga partai yang tergabung dalam FDR – PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh – supaya mendirikan satu-satunya partai klas buruh, yang sudah menggunakan nama yang historis – Partai Komunis Indonesia”. 26).
25-27 Agustus 1948 di Jogyakarta berlangsung Konferensi Luarbiasa PKI. Masalah pokok yang dibicarakan dalam Konferensi adalah laporan khusus Musso “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia”, yang telah disetujui dalam sidang Politbiro CC PKI yang diperluas, yang telah berlangsung di Jogyakarta, 13-14 Agustus 1948. 27). Konferensi Luarbiasa ini mengesahkan rencana “Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” yang merupakan selfkritik pimpinan PKI atas kesalahan-kesalahan prinsipiil dalam revolusi Indonesia di bidang organisasi, politik dan ideologi. Rencana Resolusi ini akan diajukan dalam Kongres Nasional ke V PKI untuk pengesahannya. Dalam rencana Resolusi ini antara lain dinyatakan: bahwa “…..tahun 1935 didirikan PKI illegal di Indonesia atas inisiatif sdr Musso. Selanjutnya PKI illegal ini memimpin perjuangan anti-fasis selama pendudukan Jepang. Kesalahan pokok di lapangan organisasi yang dibuat oleh organisasi illegal ialah, tidak dimengertinya perobahan-perobahan keadaan politik di dalam negeri sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Sebenarnya, pada saat itulah, PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul dihadapan masyarakat Indonesia Merdeka dengan terang-terangan….Adanya sampai sekarang tiga partai klas buruh (PKI legal, PBI, Partai Sosialis) yang semuanya dipimpin oleh PKI illegal, yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme dan yang sekarang telah bergabung dalam FDR, serta telah menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, telah mengakibatkan membikin ruwetnya pergerakan buruh seumumnya. Hal ini sangat menghalangi kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi klas buruh, juga sangat menghalangi meluasnya dan mendalamnya ideologi yang konsekwen berhaluan Marxisme-Leninisme. Dengan demikian telah memberi banyak kesempatan kepada musuh klas buruh untuk menghalangi kemajuan pergerakan komunis dengan jalan mendirikan bermacam-macam partai kiri yang palsu dan memakai semboyan yang mestinya menjadi semboyan PKI (diantaranya: Perundingan atas dasar kemerdekaan 100%)….Berhubung dengan kesalahan-kesalahan yang mengenai asas dalam lapangan organisasi seperti tersebut di atas dan menarik pelajaran sebaik-baiknya dari kejadian di Yugoslavia, maka rapat-rapat Politbiro PKI memutuskan untuk mengadakan perobahan dengan radikal….Jalan satu-satunya untuk melikwideer kesalahan-kesalahan pokok itu dengan cara radikal ialah, diadakannya SATU partai yang legal dari pada klas buruh yang berdasarkan Marxisme-Leninisme. ….supaya diantara tiga partai yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme yang sekarang telah bergabung dalam FDR serta menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan) sehingga menjadi SATU Partai klas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu PKI. Konferensi juga memperkuat keputusan CC untuk membentuk organisasi massa yang baru, ialah “Lembaga Persahabatan Indonesia Soviet Unie”. Ini perlu sekali, karena di Indonesia terdapat sangat banyak orang yang bersimpati pada Soviet Unie dan yang masih segan memasuki PKI. Perlu sekali adanya lembaga itu, supaya rakyat jelata mengetahui lebih banyak tentang Soviet Unie, supaya rakyat jelata mempunyai kepercayaan lebih besar kepada pergerakan demokrasi rakyat yang dipimpin oleh Soviet Unie. Kekuatan Soviet Unie dan kekuatan-kekuatan anti imperialis lainnya di seluruh dunia sebenarnya adalah jauh lebih besar dari pada kekuatan bloc imperialisme yang dipimpin oleh USA, yang juga berniat menjajah kembali tanah air kita. Kesalahan di bidang politik luarnegeri, mempunyai akar yang dalam, semenjak meletusnya Perang Dunia kedua dan selama pendudukan Jepang, dan kemudian juga terpengaruh oleh pendirian yang salah dari partai-partai sekawan Eropa Barat, yaitu Perancis, Inggeris dan Belanda. Pada umumnya tidak dimengertinya perobahan yang besar di lapangan politik internasional dan perobahan keadaan di negerinya masing-masing sesudah Perang Dunia kedua berakhir. Selama Perang anti-fasis, semua kekuatan revolusioner bekerjasama dan bersatu dengan semua kekuatan anti-fasis, termasuk dengan pemerintah-pemerintah Amerika, Inggeris, Perancis, Belanda dll. Setelah Perang Dunia kedua berakhir dengan hancurnya ketiga negara fasis tadi, maka bagi Partai Komunis dinegeri-negeri kapitalis imperialis dan bagi perjuangan revolusioner di negeri-negeri jajahan sudah tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan kerjasama dengan pemerintah masing-masing. Apalagi sesudah ternyata, bahwa borjuasi di negeri masing-masing itu sudah mulai menggunakan cara-cara untuk menindas pergerakan kaum buruh dinegerinya sendiri dan perjuangan kemerdekaan di negeri jajahannya. Pada saat Perang Dunia kedua berakhir dengan hancurnya negeri-negeri fasis, maka perjuangan kemerdekaan di negeri jajahan harus dikobarkan dengan sehebat-hebatnya dan Partai Komunis di negeri penjajah harus menyokongnya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, …CPN (Partai Komunis Belanda) beranggapan, bahwa perjuangan rakyat Indonesia tidak boleh keluar dari batas dominion status dan oleh karenanya semboyan yang paling baik untuk Indonesia, menurut pendirian mereka ialah :”Unie-verband”, atau dengan perkataan lain: tetap tinggal dalam lingkungan “commonwealth” Belanda. Jadi Indonesia harus terus menerus “kerja bersama” dengan imperialis Belanda. Politik reformis ini, yang terutama dianut oleh kaum sosialis kanan (Soetan Sjahrir), hakekatnya adalah sangat membesar-besarkan kekuatan imperialis Belanda dan mengecilkan kekuatan revolusi Indonesia. Inilah akar penerimaan atas Persetujuan Linggarjati dan Renville….Kesalahan selanjutnya yang besar pula ialah, bahwa kabinet Amir Sjarifoeddin mengundurkan diri dengan sukarela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali.. Kaum komunis pada waktu itu tidak ingat akan ajaran Lenin: “Soal pokok daripada tiap revolusi adalah soal kekuasaan negara”. Berhubung dengan itu, Politbiro menetapkan, bahwa PKI dalam susunannya yang baru dengan tegas harus membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Penolakan persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga selfkritik yang keras di kalangan PKI. Dan pengakuan salah ini harus juga dipopulerkan dihadapan bagian terbesar massa rakyat. Adapun politik PKI terhadap Soviet Unie, sebulat-bulatnya menganjurkan supaya diadakan hubungan langsung dalam semua lapangan. Soviet Unie adalah sekutu yang semestinya dari rakyat Indonesia yang melawan imperialisme, karena Soviet Unie mempelopori perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat Cukup jelas bagi kita, bahwa Amerika Serikat membantu dan mempergunakan Belanda untuk mencekek Republik kita yang demokratis. Dalam perjuangan melawan imperialisme ini PKI harus menghubungkan diri dengan pergerakan-pergerakan anti imperialis di Asia, Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan rakyat di negeri Belanda yang progresif, yang sebagian terbesar dari mereka di pimpin oleh CPN…. Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia Serikat yang berdasarkan demokrasi rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan yang bebas dari pengaruh imperialisme asing serta tentaranya. Rencana Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia ini juga memaparkan masalah-masalah poltik dalam negeri: pemerintahan dalam negeri, kepolisian negara, pengadilan negeri, ketentaraan; masalah Front Nasional, masalah PKI dan dan daerah pendudukan, dan masalah ideologi. Mengenai ketentaraan dikemukan, bahwa sebagai alat kekuasaan negara yang terpenting, harus istimewa mendapat perhatian. Kader-kader dan anggota-anggota tentara harus diberi pendidikan istimewa yang sesuai dengan kewajiban tentara sebagai aparaat yang terpenting untuk membela revolusi nasional kita, yang berarti pula membela kepentingan rakyat pekerja. Tentara harus bersatu dengan dan disukai oleh rakyat. Tentara harus dipimpin oleh kader-kader yang progresif. Dengan sendirinya dan terutama kalangan kader-kadernya harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner.” 28). Dengan rencana Resolusi Jalan Baru, PKI telah mempersiapkan dasar pembangunan satu-satunya partai klas buruh, yaitu PKI; dan dengan tegas menyatakan bersatu dengan Uni Soviet untuk melawan imperialisme yang dikepalai Amerika. Bagi Amerika Serikat, ini betul-betul merupakan tantangan terhadap pelaksanaan stareginya membendung komunisme di Asia, yaitu pelaksanaan “the policy of containment”. Tentu saja PKIlah yang menjadi sasarannya untuk strategi sejagad membendung komunisme. Dengan telah terbentuknya kabinet Hatta tanpa ikutnya FDR, usaha Amerika untuk mencegah duduknya komunis dalam Pemerintah, telah menang selangkah. Kini tinggal mencegahnya masuk kembali, untuk kemudian membasmi seluruhnya.
1 September 1948 diumumkan susunan Politbiro CC PKI yang baru, dengan pembagian kerja sebagai berikut: Sekretariat umum: Musso, Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Ngadiman; Departemen Buruh: Harjono, Setiadjit, Djokosudjono, Abdul Madjib, Achmad Sumadi, Departemen Tani: A.Tjokronegoro, D.N.Aidit, Sutrisno; Departemen Pemuda: Wikana dan Suripno, Departemen Wanita: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Pertahanan: Amir Sjarifoeddin, Departemen Agitasi dan Propaganda: Alimin, Lukman dan Sardjono; Departemen Organisasi: Sudisman; Departemen Luarnegeri: Suripno; Departemen Perwakilan: Njoto; Departemen Daerah-Daerah Pendudukan: dipegang oleh Sekretariat umum; Departemen Kader-Kader Partai: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Keuangan: Ruskak. 29).
Pimpinan PKI sangat sibuk dengan kampanye mempopulerkan putusannya yang dirumuskan dalam rencana Resolusi Jalan Baru Bagi Republik Indonesia. Dilakukan kunjungan ke berbagai kota dan daerah dengan melangsungkan rapat-rapat umum. Telah direncanakan bahwa Amir Sjarifoeddin bersama Musso dan rombongannya akan berkunjung sebagai berikut; 7 September , Solo; 8 September, Madiun; 10 dan 11 September, Kediri; 13 September, Jombang:; 14 September, Bojonegoro; 16 September, Cepu; 17 September Purwodadi; dan 24 September, Wonosobo.
4. Rasionalisasi “Pembersihan Atas Kaum Kiri” Dalam Tentara.
1 September 1948 pemerintah mulai dengan operasi di Solo di bawah pimpinan Letkol Wagiman, bekas Kepala Perhubungan Divisi IV, Alip Hartojo, penyelidik BPRI merangkap penyelidik pemerintah, Mayor Akil, Komandan penyelidik Siliwangi, Mayor Lukas dari Batalyon Siliwangi, Mayor Achmadi dari Batalyon KRU Pertahanan Kota. Berlangsung penculikan di Solo terhadap Slamet Widjaja dan Pardio, kedua-duanya kader PKI Solo. Slamet Widjaja memegang Sekretariat FDR Solo. Diberitakan bahwa penculikan dilakukan oleh gerombolanm “liar”. Tapi kemudian ternyata, Slamet Widjaja dan Pardio dimasukkan dalam kamp konsentrasi pemerintah di Jogja.
Dalam sebuah interviunya, 3 September 1948, jurubicara Pemerintah Hindia Belanda menyatakan, bahwa “Pertanyaan terpenting sekarang yalah, apakah Hatta bisa tahan terhadap Partai Komunis yang besar itu”. 30). 4 September 1948, menurut Antara-Aneta, Kementerian Luarnegeri Amerika menyatakan, bahwa Amerika Serikat akan melanjutkan pertolongannya kepada Pemerintah Hatta. 31).
9 September 1948 CC PKI mengajak pimpinan Masjumi dan PNI untuk mengadakan pertemuan demi memperkuat persatuan nasional. Dalam surat CC PKI itu dinyatakan, bahwa “Sekarang ini, sudah datang saatnya, untuk menciptakan persatuan yang kokoh, demi bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak terduga-duga datang dari fihak Belanda”. 32). Kedua Partai itu menolak ajakan PKI.
Penolakan Masjumi adalah sehubungan dengan putusan rapat pimpinan Masjumi 4-5 September 1948, yang telah memutuskan garis umum politik Masjumi pada syarat “situasi yang baru”, yaitu telah dirumuskannya pandangan bahwa “Islam tidak bisa menerima komunisme dan imperialisme”. Dalam syarat yang demikian, Dewan Pimpinan Masjumi mendukung Pemerintah sepenuhnya dan tanpa syarat “dalam tindakannya untuk melikwidasi anasir-anasir yang yang subvesif atas dasar politik kekerasan ‘tangan besi’ “ 33).
7 September 1948, Komandan Divisi IV, Letkol Suadi menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Supardi untuk pergi mengusut penculikan-penculikan itu. Tetapi kelima-limanya tidak kembali, hanya sepeda mereka saja ditemukan di Srambatan, di markas Kompi Lukas dari Siliwangi. Letkol Suharman dari TNI Bagian Masyarakat yang ditugaskan untuk mengusut penculikan-penculikan itu pada tanggal 8 September 1948 juga hilang. Ternyata, pada tanggal 9 September 1948, Suharman di bawa ke Markas Batalyon Siliwangi di Tasikmadu dan dikumpulkan dengan Slamet Widjaja dan Pardio. Pada tanggal 19 September 1948 mereka dipindahkan ke Staf I Siliwangi Kletjo dan pada 24 September 1948 mereka dibawa ke penjara Wirogunan Jogjakarta.
Letkol Suadi meminta ketegasan sikap Pemerintah Pusat, mengenai penangkapan-penangkapan ini. Tetapi tidak mendapat perhatian. Panglima Besar Sudirman pada tanggal 8 September 1948 memberi izin kepada Letkol Suadi untuk mengambil tindakan terhadap kekacauan-kekacauan di Solo. Berdasarkan izin Panglima Besar Sudirman itu, 10 September 1948 disampaikan ultimatum kepada Batalyon Siliwangi. Komandan sektor seluruh Surakarta, Mayor Slamet Rijadi dengan kekuatan satu kompi dan dibantu oleh dua batalyon ALRI menyebarkan ultimatum itu yang isi pokoknya sebagai berikut: “Jika sampai pada tanggal 13 September 1948, pukul 14:00, 5 orang tawanan tidak dilepaskan, maka penggempuran akan segera dimulai”. Karena ultimatum tidak diindahkan, maka tanggal 13 September pukul 14:00 tepat pertempuran mulai meletus antara pasukan Siliwangi dengan Divisi IV dan ALRI yang menuntut supaya perwira-perwira yang diculik dikembalikan. Komandan Batalyon dari ALRI, Sutarno, gugur pada permulaan pertempuran. Pertempuran berlangsung sengit. Pukul 18:00 tanggal 13 Spetember 1948 Panglima Besar Sudirman memerintahkan supaya diadakan cease fire. Pelaksanaan perintah cease fire disaksikan sendiri oleh Menteri Pertahanan, Panglima Besar, pejabat dari Kehakiman Tinggi Militer, Residen Sudiro dan lain-lain. Perintah cease fire ditaati oleh Divisi Panembahan Senopati, tapi dengan diam-diam Komandan Siliwangi memerintahkan supaya seluruh kesatuan Siliwangi disekitar Solo bergerak menduduki Solo. Setelah ternyata bahwa pasukan Siliwangi tidak taat pada perintah cease fire, maka pada tanggal 15 September 1948 pukul 18:00 pasukan-pasukan Panembahan Senopati dan ALRI bergerak menggempur pasukan Siliwangi. Pelanggaran cease fire oleh Siliwangi dibenarkan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Letkol Suadi dengan semua pasukan yang di bawah komandonya dicap “pengacau”. Pemerintah menyerukan melalui radio dan surat-surat selebaran supaya rakyat membantu Siliwangi yang bertugas resmi.
7 September 1948, Musso, Amir Sjarifoeddin dan Setiadjit berada di Solo, ambil bagian dalam Kongres luar biasa Sarikat Buruh Gula (SBG). Kongres mendukung keputusan Presidium SOBSI 23 Agustus 1948, sehubungan dengan Jalan Baru yang diambil PKI.
8 September 1948, Musso dan sejumlah kawan lainnya berada di Madiun. Dalam satu rapat umum, Musso berpedato di depan massa mengenai masalah-masalah penting yang dihadapi revolusi nasional waktu itu. Di samping itu, diblejetinya pula usaha-usaha propaganda dalam dan luarnegeri yang memfitnah kaum komunis, yaitu yang mendiskreditkan kaum komunis dimata rakyat, sebagai kaum yang tidak patriotik. Dengan tandas Musso memaparkan garis umum PKI yang bertolak dari kepentingan pokok rakyat Indonesia, yang pada tingkat sekarang ini harus menyatukan semua kekuatan anti imperialis dalam satu front nasional demi memenangkan perjuangan melawan kemungkinan agresi Belanda. Dia menekankan, bahwa program ekonomi kaum komunis Indonesia adalah sejalan dengan fasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Membantah fitnahan musuh-musuh komunis mengenai hubungan komunis dengan agama, Musso menyatakan, bahwa kaum komunis menghormati kaum beragama, bersatu dengan mereka untuk memperkuat perjuangan melawan Belanda. Dikemukakannya, bahwa jika penganut agama Islam tidak mau lagi diperbudak kembali, maka justru sekarang datanglah saatnya untuk siap melakukan perang suci. Dengan tegas Musso membantah propaganda Pemerintah yang memfitnahnya, bahwa kedatangannya adalah “membawa instruksi dari Moskow”. Dikatakannya, bahwa politik kita dibangun atas dasar syarat-syarat kongkrit dan ciri-ciri revolusi kita.
Rencana perjalanan Musso dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya dalam bulan September adalah sangat padat. 10-11 September Musso dan Amir Sjarifoeddin sudah berada di Kediri, 13 September di Jombang, 14 September di Bojonegoro, 16 September di Cepu, 17 September di Purwodadi.
11 September 1948 di Jogjakarta berlangsung rapat umum yang diselenggarakan oleh Masjumi dan PNI.. Resminya dinyatakan sebagai rapat anti imperialisme, tapi isinya adalah anti-komunis. Di lapangan tempat rapat umum dibentangkan semboyan-semboyan “Kita tidak mau memihak Washington, maupun Moskow !”, “Bung Hatta, jalankan politik ‘tangan besi’!” 34).
Pada tanggal 16 September gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren diserbu oleh pasukan Siliwangi dengan memakai kedok Barisan Banteng. Berlangsunglah “pembersihan” dan pembunuhan sonder proses pengadilan Daerah Solo menjadi medan pertempuran. Panglima Besar Sudirman mengeluarkan order harian antara lain sebagai berikut: “Pada saat ini terjadi suatu peristiwa di Surakarta yang langsung menyinggung kedaulatan Angkatan Perang, yakni terculiknya anggota-anggota angkatan perang. Maka disini kami tegaskan: Angkatan Perang supaya bulat bersatu terhadap fihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan keaulatan Negara, dan harus serentak menghadapinya”. 35). Pada hari itu juga, Perdana Menteri Hatta berpedato dalam sidang BP KNIP. Dan di depan kira-kira 500 wakil partai-partai politik dan organisasi massa, secara terbuka Hatta menyerang PKI, menuduhnya berusaha “melibatkan Republik Indonesia dalam pertentangan antara Russia dan Amerika”. Pedato Hatta merupakan sinyal bagi berlangsungnya kampanye anti komunis secara besar-besaran. Pemerintah langsung ambil bagian dalam kampanye ini. 17 September 1948 Konferensi SBKA digedung SOBSI, Tugu, Jogjakarta, dikepung oleh pasukan-pasukan pemerintah dan pemimpin-pemimpin SBKA ditangkap.
Musso pada 14 September 1948 mau mengadakan ceramah di sositet HARMONI, Solo. Tetapi karena mendengar ketegangan-ketegangan yang ada di Solo, Musso yang yang sedang berada di Purwodadi mengirim kurir ke Solo, menanyakan keadaan di Solo, dan kurir itu dikirim kembali oleh Seksi Comite PKI Surakarta dengan usul kepada Musso supaya ceramah tidak dilanjutkan. “Rencana (Musso, Amir Sjarifoeddin, Wikana, dan Harjono) menetapkan untuk mengunjungi banyak kota-kota lainnya. Wonosobo ….. misalnya, akan harus mengadakan rapat umum dimana berbicara Musso pada tanggal 24 September. Kenyataan ini dicantumkan dalam laporan resmi kepada pemerintah pusat oleh Djawatan Penerangan Wonosobo”. 36).
13 September 1948, sebelum batas waktu ultimatum habis, yaitu pada jam 12:30, mayor Sutarno, yang datang ke markas fihak lain di Srambatan dengan membawa tugas dari Divisi untuk mnengadakan perundingan, ditembak ketika turun dari truk, sehinga mayor Sutarno beserta beberapa orang pengawalnya mati seketika. 37). Jam 14:00 tepat, divisi IV dan ALRI terpaksa memulai operasinya. Jam 18:00 datang perintah dari pemerintah pusat supaya diadakan gencatan senjata. Divisi Panembahan Senopati mentaati gencatan senjata, tapi pemerintah pusat malah mengirim balabantuan dari mana-mana ke Solo, untuk membantu fihak yang lain, fihak yang dihadapi oleh Divisi IV..
15 September 1948, karena gencatan senjata tak mungkin dipatuhi oleh satu fihak saja sedang fihak yang lainnya terus menerus melanggarnya, maka mulai jam 18:00 Divisi Panembahan Senopati dibantu oleh ALRI memulai lagi operasinya. Sementara itu, pemerintah pusat terus mengirim balabantuannya kepada fihak yang lain. 38).
15 September 1948, “Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa tiap-tiap aksi komunis adalah bertentangan dengan ketenteraman umum dan jatuh di bawah peraturan-peraturan hukuman, yang melindungi ketenteraman umum”. 39).
Dalam sebuah interviunya kepada wartawan FRANCE ILLUSTRATION, Van Mook menyatakan, bahwa “tetapi kita harus melakukan ini – bekerjasama dengan pemerintah Hatta --. Kalau tidak, kita akan menyerahkan Indonesia dengan sonder perlawanan sedikitpun kepada kaum avonturir dan kaum komunis”. 40).
16 September 1948, gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren, Solo, diserbu dan diduduki oleh kaum pengacau. Pertempuran di Solo menghebat. Pada hari itu juga, Panglima Besar Sudirman mengeluarkan order harian, antara lain sebagai berikut: “Pada saat ini terjadi satu peristiwa di Surakarta yang langsung menyinggung kedaulatan Angkatan Perang, yakni terculiknya anggota-anggota Angkatan Perang. Maka disini kami tegaskan: Angkatan Perang supaya bulat bersatu terhadap fihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan kedaulatan Negara, dan harus serentak menghadapinya” Kepada Komanda CPM Jawa, Panglima Besar memerintahkan “untuk mengusut dan menuntut tindakan tegas terhadap pasukan yang menyerang satuan Korps Reserve Umum pada tanggal 13 Juli yang lalu. 41).
17 September 1948 Politbiro CC PKI mengadakan sidang di Jogyakarta. Antara lain membicarakan soal pertempuran di Solo. Politbiro memutuskan untuk berusaha keras supaya pertempuran di Solo dilokalisasi. Juga diputuskan mengutus anggota Politbiro Suripno, yang kebetulan akan berbicara didalam rapat yang diselenggarakan oleh Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia di Madiun, untuk menyampaikan kepada Musso, Amir Sjarifuddin dan anggota-anggota Politbiro lainnya yang sedang keliling Jawa, bahwa pertempuran di Solo harus dilokalisasi. 42). Pada hari itu juga, daerah Solo diumumkan dalam keadaan bahaya. Kolonel Gatot Subroto diangkat menjadi Gubernur Militer. 43).
Dari tanggal 17 sampai 21 September 1948 di Washington berlangsung perundingan Menteri Luarnegeri Amerika Serikat Marshall dengan Menteri Luarnegeri Belanda Stikker. Menjawab pertanyaan wartawan mengenai perspektif perkembangan komunisme di Asia Tenggara, Stikker menyatakan: “Justru itulah yang dibicarakan dengan Menlu Marshall”. Sambil menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap masalah itu, “dia menyatakan sebagai berikut: pertama, komunisme telah memperluas pengaruhnya di daerah yang dikuasai Belanda; dan di daerah Republik Indonesia; kedua, gerakan itu telah mengganggu negara-negara Barat untuk memperoleh bahan-bahan strategis dari Asia Tenggara, terutama dari Indonesia; ketiga, sebagaimanan Amerika Serikat mengakui bahaya kebangkitan komunis di Malaya, maka Amerika harus mengetahui dengan tepat, bahwa kekuatan Belanda ditujukan untuk membasmi komunisme di Indonesia”.44).
18 September 1948. Rapat SC PKI Jogjakarta di Jalan Gondomanan, Jogjakarta, yang juga dihadiri oleh anggota-anggota Politbiro Maruto Darusman, Lukman dan Njoto, sesudah semua hadir, terpaksa dibubarkan, mengingat pengalaman konferensi SBKA. 45). Pada hari itu, rombongan Musso, Amir Sjarifoeddin cs. sampai di Cepu, sebelum ke Magelang dan Purworejo, meneruskan rapat-rapat umumnya. Suripno berangkat ke Madiun dengan keretaapi pagi dari Jogja (kebetulan bersama-sama domine F.Harahap yang kemudian juga menyaksikan sendiri apa-apa yang seungguhnya terjadi di Madiun). Sementara itu keadaan di Madiun sejak beberapa waktu telah menjadi hangat, karena pasukan-pasukan yang dikirim langsung oleh pemerintah pusat menduduki pabrik-pabrik gula, mengadakan “latihan-latihan” sendiri sonder memberi tahu pasukan-pasukan TNI setempat, memukuli buruh Balai Kota dan menembak mati seorang buruh keretaapi Madiun yang pagi-pagi berangkat ke bengkel.
5. Bukan Mendirikan Pemerintahan Soviet, Tapi Pengangkatan Pemangku Residen.
19 September 1948, mulai jam 01:00 sampai 08:00, di Madiun, pasukan TNI setempat (Brigade 29) melucuti pasukan-pasukan yang dikirimkan pemerintah pusat dan pasukan Mobrig, suatu insiden yang bukan untuk pertama kalinya, bahkan sudah berkali-kali terjadi. Hari itu juga, di Kediri dilangsungkan Kongres PBI. Malamnya, membawakan suara Pemerintah Hatta, Presiden Sukarno mengucapkan pedato radio yang antara lain menyatakan, bahwa “kemarin pagi PKI-Musso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana satu Pemerintahan Soviet, dibawah pimpinan Musso”. Pedato itu langsung disusul oleh pedato Sultan Hamengku Buwono IX, yang menyerukan kepada penduduk untuk “secepat mungkin menghancurkan kaum pemberontak” 46). Karena Kongres mendengar pidato pemerintah yang diucapkan oleh Presiden dengan begitu tiba-tiba, maka sesudah disahkan peleburan PBI kedalam PKI, Kongres segera dibubarkan. Juga Kongres Partai Sosialis rencananya segera akan diadakan, sedang PKI sendiri akan mengadakan Kongresnya yang ke-V bertempat di Balai Prajurit, Ngabean, Jogjakarta, pada awal Oktober. 19 September 1948, Tan Ling Djie, Sekretaris Jenderal II PKI, yang sedang menyiapkan pedato untuk sidang BP KNIP esok paginya, ditangkap di rumahnya di Jalan Dieng 1, Jogjakarta. Juga anggota Politbiro, Abdulmadjid, ditangkap di Jogja, sedang Sekretaris-jenderal III dan IV, Maruto Darusman dan Ngadiman pun berada di Jogjakarta. 47). Adalah terang benderang, bahwa tuduhan terjadinya “coup oleh PKI dan didirikannya Pemerintah Soviet dibawah pimpinan Musso” adalah jelas tidak cocok dengan kenyataan. Ketika itu, Musso tak berada di Madiun, tapi di Cepu, dalam perjalanan menuju Magelang dan Purworejo.
Yang terjadi adalah: 19 September 1948, di Madiun, karena Residen ternyata bepergian, pada hal harus ada yang bertanggungjawab atas keamanan di daerah itu, maka wakil walikota Madiun, Supardi, atas usul organisasi-organisasi rakyat diangkat sebagai pemangku Residen. Pengangkatan itu ditandatangani juga oleh komandan teritorial, overste Sumantri, wakil Residen, dan Walikota Purbo. Kemudian, Overste Sumantri, Isdharto dan Supardi, atas nama pemerintah daerah mengirim kawat ke pemerintah pusat di Jogjakarta sebagai berikut: “Di Madiun terjadi perlucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas batalyon Siliwangi dan Mobrig, berhubung dengan kepergiannya kepala daerah dan Walikota sedang sakit, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi-instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul”. 48).
Tanggal 19 September 1948, pasukan polisi dan tentara daerah Jogjakarta menduduki semua kantor PKI, FDR, SOBSI. Juga percetakan tempat dicetaknya koran-koran PATRIOT, BURUH, SUARA IBU KOTA, REVOLUSIONER diperintahkan untuk menghentikan penerbitanannya. 49).49). Berita ANTARA, 20 September 1948. Dalam waktu yang pendek di Jogjakarta telah ditahan tidak kurang dari 200 orang, termasuk Tan Ling Djie, Alimin, Abdoelmadjid, Djokosoedjono, Sakirman dan lain-lain. 50). Dimana-mana, sebagai ganti plakat-plakat dan semboyan-semboyan FDR yang telah disobek, dipasang semboyan-semboyan: Kita hanya mendukung Pemerintah Sukarno- Hatta ! 51). Menyusul penangkapan-penangkapan di Jogjakarta, para pemimpin PKI dan FDR mulai ditangkapi di Jombang, Kediri, Blitar, Magelang, Purworejo, Pati, Cepu dan lain-lain. Di Magelang dilarang terbitnya harian PENGHELA RAKYAT. Di Kediri, pasukan pemerintah melucuti senjata Brigade 29, yang umumnya anggotanya terdiri dari anggota Pesindo. Komandannya Overste Dahlan berhasil meloloskan diri dari penahanan dan pergi ke Madiun. 52).
20 September 1948, Perdana Menteri Hatta meminta BP KNIP memberikan kekuasaan penuh kepada Presiden selama waktu tiga bulan dengan alasan: “PKI Musso telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”… “Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifoeddin Perdana Menterinya”. 53) Pada hari itu juga, dalam sidang BP KNIP itu hadir Mr Luat Siregar, anggota fraksi PKI, dan K.Werdojo, anggota fraksi Buruh, suatu hal yang mustahil terjadi sekiranya PKI punya rencana “memberontak”. Dalam sidang itu K. Werdojo menyatakan, bahwa “tidak setuju dengan rencana resolusi yang diajukan Pemerintah Hatta, karena tidak yakin, bahwa kejadian di Madiun adalah bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah. Dalam peristiwa ini, yang salah bukan hanya FDR. Banyak golongan lainnya juga melakukan kesalahan”.Keputusan diambil dengan 25 suara setuju, satu menentang. 54). Dan pada hari itu, Ketua Masjumi, Dr Sukiman dalam pedato radionya mengumumkan ‘perang sabil’ terhadap PKI. 55).
22 September 1948, Komandan Brigade, letnan-kolonel Suharto, datang dari Jogja untuk menyaksikan sendiri keadaan di Madiun. Ia kembali ke Jogja membawa surat-surat dari berbagai kepala Jawatan yang menyatakan bahwa keadaan di Madiun aman dan normal, dan ia juga membawa pesan dari Musso supaya diajukan sebagai usul kepada pemerintah pusat: 1. untuk mengakhiri pertempuran, dan bersama-sama melawan Belanda, 2. Program Nasional supaya dijadikan program pemerintah dan dasar untuk membentuk kabinet front nasional. 56). Pada hari itu juga, jenderal mayor Djokosujono mengadakan pedato radio di Madiun, dimana ia menyerukan kepada semua komandan TNI di Jawa Timur untuk menghindarkan perang saudara, dan untuk bersama-sama melawan Belanda. 57).
23 September 1948, Amir Sjarifoeddin dimuka corong Radio Madiun mengatakan: “Perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak lebih tidak kurang daripada gerakan untuk mengoreksi jalannya revolusi. Maka itu dasarnya tetap sama dan tidak berobah. Revolusi menurut pendapat kita tetap berwatak nasional, yang dapat disebut revolusi burjuis demokratis. Konstitusi kita tetap sama; bendera kita teteap Merah Putih;sedang lagu kebangsaan kita tidak lain daripada Indonesia Raya”. 58). Pada hari yang sama, Menteri Agama, tokoh Masjumi, K.H.Masjkoer menyatakan, bahwa “perebutan kekuasaan oleh Musso di Madiun adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin dijalankan oleh musuh Republik”. Pimpinan Partai Masjumi menyerukan pada tanggal 24-9-1948 kepada segenap anggota untuk “mendukung Pemerintah dan membantu menindas pemberontak PKI Musso dan FDR serta membasmi pemberontak dan pengkhianat negara.” 59)
25 September 1948, Sjahrir menerangkan, bahwa dia menganggap perspektif untuk perundingan dengan Belanda menjadi lebih baik. 60).
New York Herald Tribune, 26 September 1948 menulis, bahwa beberapa minggu yang lalu Tan Malaka dan pengikut-pengikutnya dilepaskan, untuk keperluan pembentukan suatu blok anti-Musso yang kuat di dalam Republik Indonesia. “Suatu provokasi dari trotskis Tan Malaka memberikan alasan kepada Pemerintah Jogja untuk melikwidasi elemen-elemen komunis dari Angkatan Perang”. 61). Senafas dengan Prof. G.Mct.Kahin, Prof. W.F.Wertheim menulis; “apa yang disebut pemberontakan komunis di Madiun,Jawa Timur, adalah mungkin tak lebih dan tak kurang dari provokasi yang dilakukan elemen-elemen anti-komunis.” 62).
1 Oktober 1948, Menteri Penerangan Moh.Natsir menyatakan, bahwa Pemerintah Hatta akan lebih berorientasi ke negara-negara Barat dan khususnya Amerika, untuk mendapat bantuan. 63).
6. Pembasmian Seluruh Pimpinan Utama PKI.
24 September 1948 pasukan pemerintah menduduki dan membersihkan Sarangan. 25 September 1948 Tegal. 26 September 1948 Kementerian Pertahanan mengumumkan, bahwa seluruh daerah Jawa Timur termasuk Madura berada dibawah kontrol pasukan pemerintah. 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan pemerintah. Musso, Amir Sjarifoeddin dan sejumlah tokoh lainnya mundur dari Madiun ke darerah Dugus, 9 km dari Madiun dan ke Kandengan, 16 km dari Madiun.64). 28 Oktober 1948 rombongan terakhir sejumlah 1500 orang “pemberontak” ditangkap. 31 Oktober 1948 di Ponorogo, dalam satu pertempuran, Musso tertembak mati. 29 November 1948, di desa Penawangan, 19 km dari Purwodadi, Djokosoejono ditangkap bersama Maroeto Daroesman dan Sardjono. 1 Desember 1948 di desa Klambu, 20 km dari Purwodadi, dalam keadaan luka, Amir Sjarifoeddin ditangkap. Juga Suripno dan Harjono. 7 Desember 1948, Markas Besar TNI mengumumkan bahwa “sudah dihancurkan seluruh” kaum pemberontak dan ditangkap sebanyak 35.000 orang.
Sesudah ditahan beberapa waktu di Jogjakarta, maka Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawannya dikembalikan ke Solo dan dipenjarakan di sana. Dalam rapat kabinet tanggal 18 Desember 1948 dibicarakan tindakan yang akan diambil terhadap pemimpin-pemimpin PKI jika Belanda mengadakan agresi militernya. Hadir pada waktu itu hanya 12 orang Menteri. Dalam sidang tersebut, empat orang Menteri menghendaki agar Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawanya ditembak mati; empat orang lagi berpendapat supaya Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawanya dibebaskan (jangan ditembak); empat orang lainnya tidak memberikan suara.. Kemudian Presiden Sukarno keluar dengan vetonya, bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh ditembak. 65). Tapi, 19 Desember 1948 malam, di kala Belanda mulai melancarkan agresi kolonialnya yang kedua, jam 23:30 telah dijalankan hukuman mati, atas sebelas tokoh PKI dan FDR dengan ditembak: Amir Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku di desa Ngaliyan, kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Keresidenan Surakarta. Eksekusi berlangsung tanpa proses pengadilan.
Dalam pembelaannya dimuka Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 24 Februari 1955, D.N.Aidit memaparkan peristiwa penembakan ini sebagai berikut: “Pada waktu itu kawan Amir Sjarifoeddin berpakaian piyama putih strip biru, celana hijau panjang, dan membawa buntelan sarung; kawan Maoeto Daroesman berpakaian jas coklat dan celana putih panjang; kawan Suripno berbaju kaos dan bersarung; kawan Oey Gee Hwat bercelana putih, kemeja putih dan jas putih yang sudah kotor; kawan lainnya yalah Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku.
Sambil menunggu lubang selesai digali, Kawan Amir Sjarifoeddin menanyakan kepada seorang kapten TNI yang ada disitu: Saya mau diapakan ?
Jawab kapten itu: Saya tentara, tunduk perintah, disipilin.
Setelah selesai lubang digali, orang-orang yang menggali disuruh pergi dan yang disuruh tinggal hanya 4 orang yang kemudian ternyata digunakan untuk menguruk lubang itu kembali.
Kemudian seorang letnan menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer kolonel Gatot Subroto mengenai pembunhan atas 11 orang itu.
Bung Amir menanykan antara lain: apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan-kawan saya ?
Letnan itu menjawab: Saya timggal tunduk perintah.
Kawan Amir bicara lagi: Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih ?
Letna: Tidak usah banyak bicara.
Kawan Djokosujono menyisip: Saya tidak menyalahkan saudara, tetapi dengan ini negara rugi.
Letnan memerintah anak buahnya supaya masing-masing mengisi bedilnya.
Kawan Amir menghampiri si Letnan, sebelum sampai ia terpeleset sedikit, sambil menepuk badan Letnan ia berkata: Beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar.
Letnan menjawab: Boleh, tapi cepat-cepat !
Kawan Suripno menyisip: Apa saya boleh mengirimkan surat untuk isteri saya, biar ia tahu.
Letnan: Ya tidak keberatan.
Kemudian kawan-kawan menulis surat. Sesudah selesai, surat-surat itu satu persatu diserahkan kepada Letnan.
Sesudah surat diserahkan, bersama-sama 11 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
Setelah selesai bernyanyi bung Amir menyerukan: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia ! Aku mati untukmu !
Kawan Suripno: Saya bela dengan jiwa saya, aku untukmu !
Kemudian mulailah kesebelas orang yang gagah berani itu ditembak satu persatu, dimulai dengan menembak kawan Amir Sjarifoeddin, kemudian kawan Maroeto Daroesman, Oey Gee Hwat, Djokosujono, dan seterusnya”: 66).
Harapan Amerika Serikat untuk membendung meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia terwujud. PKI, yang baru saja bangkit dalam gelora revolusi Agustus 1945, dengan satu peristiwa, yaitu “Peristiwa Madiun”, telah kehilangan seluruh pimpinan utamanya. Peristiwa ini bukanlah pelaksanaan program PKI. Tapi pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang dilancarkan Amerika Serikat. Amerika berhasil mendapatkan dan menggunakan kekuatan anti-komunis Indonesia untuk membasmi kaum komunis Indonesia. Dengan demikian, PKI telah menjadi korban perdana PERANG DINGIN di Asia, jauh mendahului Perang Korea dan Perang Vietnam, yang dikobarkan Amerika demi membendung komunisme.
Keterangan bibiliografi:
1).Audrey R.& George McT.Kahin, SUBVERSION AS FOREIGN POLICY – The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia --, The New Press, New York, 1995, hal. 30-31.
2). L.Fischer, THE STORY OF INDONESIA, New York, 1959, hal. 104-105.
3). DASAR DAN PANDANGAN POLITIK PSI, hal. 43, pasal 9.
4). Secret telegram, No. ZGCO 32, from Jonkman to Van Mook on 11 March, Van Mook Collection 92; dikutip dalam Yong Mun Cheong: H.J..VAN MOOK AND INDONESIAN INDEPENDENCE: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relations, 1945-48, hal. 177.
5).Idem.
6).Secret telegram , No.512, from D.U. Stikker, the newly elected Foreign Minister, to Schuurman on 15 September 1948, Van Mook Collection 94, Idem, 181.
7). Idem, hal 181.
8). Secret telegram, No 716, from Van Kleffens to Stikker on 10 September 1948, Van Mook collection 94, Idem, hal. 181.
9).Dari brosur 5 MINGGU SEBELUM MADIUN AFFAIR, susunan Derita S.P., penerbitan Sarkawi, Medan. 16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook. . 10). LUKISAN REVOLUSI, hal. 363.
11).Harian NASIONAL, 18 Juni 1948.
12). BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hal. 5.
13). Harian NASIONAL, 6 Juli 1948.
14). Roger Vailland, dalam bukunya BOROBOUDOUR, penerbitan Paris, 1951, hal. 159. BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hal. 6.
15). Joop Morrien, INDONESIE LOS VAN HOLLAND, Pegasus, Amsterdam, 1982, hal. 145.
16).Baca: Anthony Reid, THE INDONESIAN NATIONAL REVOLUTION 1945-1950, Longman Australia Pty Limited, 1974, hal. 135..
17). Roger Vailland, dalam bukunya BOROBOUDOUR, bab “La Nuit de Sarangan”, hal. 154.
18). Baca: TIGA TAHUN PROVOKASI MADIUN, tulisan Mirajadi dalam majalah Teori dan Politik Marxisme-Leninisme, BINTANG MERAH, Tahun ke-VII, No 12-13, 1951, hal. 39-52.
19). Frederiek Djara Wellem, AMIR SJARIFOEDDIN – Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan --, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hal 228.
20). Berita ANTARA, 17-8-1948.
21). Mirajadi: TIGA TAHUN PROVOKASI MADIUN, majalah Bintang Merah, No 12-13, Tahun ke-VII, 1951, hal. 42.
22). Majalah REVOLUSIONER, Kemis 19-8-1948, tahun ke-III No 14.
23). E.Kh.Kyamilyev: ZAVOYEVANIYE INDONEZIYEI NYEZAVISIMOSTI,-- Kemenangan Indonesia Merebut Kemerdekaan--, Izdatyelstvo Nauka, Glavnaya Redaktsiya Vostocnoi Lityeraturi, Moskwa, 1972, hal. 209.
24). Musso: UNTUK SELFKRITIK DALAM REVOLUSI NASIONAL, dimuat kembali dalam Majalah Teori dan Politik Marxisme-Leninisme BINTANG MERAH, Tahun ke-VIII, Agustus 1952, hal. 1-10.
25).Lihat berita ANTARA, 21-8-1948.
26). Berita ANTARA, 23-8-1948.
27). Supplement I dari Buku Lampiran Fakta dan dokumen-dokumen untuk menyusun buku ”INDONESIA MEMASUKI GELANGGANG INTERNASIONAL”, Jakarta, 1958, hal. 17.
28).Teks DJALAN BARU UNTUK REPUBLIK INDONESIA, Rentjana Resolusi, sebelum ada perobahan-perobahan dari sidang Pleno CC PKI Oktober 1953.
29). Berita ANTARA, 1 September 1948.
30). Aneta, 3 September 1948.
31). Harian NASIONAL, 4 September 1948.
32). Berita ANTARA, 9-9-1948.
33). Baca Berita ANTARA, 7 dan 9-9-1948.
34). Berita ANTARA, 11-9-1948.
35). BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, cetakan kedua, 1954, hal. 13.
36). George McKahin, NATIONALISM AND REVOLUTION, hal. 186.
37). BUKU PUTIH, hal.11.
38). Dokumentasi SC PKI Surakarta.
39). KEESINGS HISTORISCH ARCHIEF, tahun 1946-1948 hal. 7749.
40). Interviu Van Mook kepada E.A.Miguel Gaudfernau, “envoye special” dari FRANCE ILLUSTRATION, September 1948.
41). Harian NASIONAL, 16 September 1948.
42). Dokumentasi Politbiro CC PKI.
43). LUKISAN REVOLUSI, hal 366.
44). E.Kh.Kyamilyev: ZAVOYEVANIYE INDONEZIYEI NYEZAVISIMOSTI, Izdatyelstvo Nauka, Glavnaya Redaktsiya Vostocnoi Lityeraturhi, Moskva, 1972, hal. 210-211.
45). Dokumentasi SC PKI Jogjakarta.
46). Berita ANTARA, 20-9-1948.
47). BUKU PUTIH, hal. 15.
48). BUKU PUTIH, hal. 16. .
49). Berita ANTARA, 20 September 1948.
50). Brackman A.C. INDONESIAN COMMUNISM. A History, New York, 1963, hal. 94.
51). Berita ANTARA, 20-9-1948.
52). Berita ANTARA, 21-9-1948
53). BAHAJA MERAH DI INDONESIA, Penerbit Front Anti Komunis, Djalan Pungkur 73, Bandung, 1954, hal. 47.
54). Berita ANTARA, 21-9-1948
55). Keesings Historisch Archief, tahun 1946-1948, hal. 7759.
56). Majalah BINTANG MERAH, No 12-13 tahun 1951, hal. 47-48
57). Keesings Historisch Archief, tahun 1946-1948, hal. 7760.
58). Harian FRONT NASIONAL, Madiun, 24 September 1948.
59). Berita ANTARA, 20 dan 24-9-1948.
60). Keesings Historisch Archief, tahun 1946-1948, hal. 7778.
61). Roger Vaillant, dalam BOROBOUDOUR, September 1948, hal. 73.
62). Prof. W.F.Wertheim, INDONESIAN SOCIETY IN TRANSITION, A Study Of Social Change, Second Revised edition, N.V Uitgeverij W. Van Hoeve, ‘s-Gravenhage, 1959, hal. 83.
63). BUKU PUTIH, hal. 20
64). Harian SIN PO 1-10-1948.
65). Ds.F.K.N.Harahap, AMIR SJARIFOEDDIN, dalam majalah KOMUNIKASI, 10 Februari 1971, hal. 26.
66). AIDIT MENGGUGAT PERISTIWA MADIUN, Pembelaan D.N.Aidit Dimuka Pengadilan Negeri Djakarta, tgl 24 Februari 1955, Yayasan PEMBARUAN, Djakarta, 1955, hal. 31-32
Belanda, Inggeris, Perancis dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme.. Amerika dengan tegas menempuh politik “the policy of containment” – politik pembendungan komunisme --. Truman dan Churchill memprakarsai politik anti-komunis ini, seusai Perang Dunia.
Di Asia, Amerika mula-mula mengambil sikap bekerjasama dengan dan membantu Belanda, Perancis dan Inggeris untuk mempertahankan kolonialisme, mencegah munculnya pemerintah nasional. Pemerintah-pemerintah nasional yang muncul dari perlawanan melawan kolonialisme, tentu menempuh politik anti kolonialisme, anti imperialisme. Ini memberi jalan bagi meluasnya pengaruh komunisme. Amerika Serikat tak mengingini hal ini..
Peranan Amerika Serikat jadi meningkat dalam pertarungan politik di Indonesia menghadapi konflik bersenjata Indonesia lawan Belanda semenjak tahun-tahun pertama revolusi Agustus 1945. Dalam konflik ini, sikap Amerika Serikat sangat jelas memihak dan membantu Belanda. Peralatan dan senjata yang dipakai pasukan Belanda masih memasang tanda-tanda militer Amerika Serikat, seperti truk-truk, tank-tank, pesawat terbang. Bahkan sampai bulan Januari 1949, sejumlah anggota pasukan Brigade Marine Belanda memakai pakaian yang bertulisan “US Marine” di kantong baju mereka. Amerika Serikat juga memberi bantuan keuangan untuk berlangsungnya usaha Belanda menguasai kembali Indonesia. Sebuah laporan CIA bertanggal 14 November 1947 menyatakan: “Di Indonesia dan Indocina, para penduduk setempat sudah meraba, bahwa usaha-usaha Perancis dan Belanda untuk kembali berkuasa adalah berlangsung dengan bantuan Amerika Serikat. Keresahan penduduk akan bertambah dengan meningkatnya kemampuan Perancis dan Belanda di Asia Tenggara berkat pelaksanaan bantuan Plan Marshall”. “Pada akhir 1947, ketika perekonomian Belanda dan Perancis mulai pulih, pengaruh komunis di kedua negeri itu mulai menurun. Tapi pada waktu itu, kaum komunis akan mencapai kemenangan di Tiongkok, maka menghadapi perkembangan ini Amerika Serikat menjadi kian khawatir akan perluasan pengaruh komunisme di Asia – tidak saja di Jepang, tetapi juga daerah-daerah pemberontakan anti-kolonialis – terutama di Indonesia dan Vietnam. Maka Pemerintah Truman ketika itu mendukung kembalinya kekuasaan kolonial untuk menangkal meluasnya komunisme.” 1).
Politik Amerika membantu kaum kolonial Belanda dan Perancis adalah dengan harapan: supaya kedua kekuasaan kolonial ini bisa menangkal perkembangan pengaruh komunisme. Politik ini berobah, setelah melihat adanya kemungkinan terbentuknya pemerintahan nasional yang anti komunis di Indonesia dan Vietnam. Di Vietnam, Amerika jadi mendukung Pemerintah korup Vietnam Selatan. Amerika juga sudah memperhitungkan, bahwa Belanda tak akan berhasil menundukkan perlawanan anti-kolonial rakyat Indonesia. Yang penting bagi Amerika adalah: membantu lahirnya pemerintah yang anti-komunis. Dengan demikian, "the policy of containment" dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan dalam negeri yang bersangkutan. Kaum komunis Vietnam dihadapkan pada kekuatan anti-komunis Vietnam. Demikian pula Indonesia.
Sesudah jatuhnya kabinet Sjahrir, 30 Juni 1947, Presiden Sukarno menugaskan team formatur yang terdiri dari Amir Sjarifoeddin (Partai Sosialis), A.K.Gani (PNI), Sukiman (Masjumi) dan Setiajit (PBI) untuk membentuk kabinet. Karena tuntutan Masjumi untuk menduduki kursi Perdana Menteri, Kementerian Dalam Negeri dan dua kursi Kementerian lainnya ditolak oleh para anggota team formatur , gagallah pembentukan kabinet. Maka mandat diserahkan kembali pada Presiden. Dan Presiden menunjuk lagi Amir Sjarifoeddin, A.K.Gani dan Setiajit untuk jadi team formatur. 3 Juli 1947 terbentuklah kabinet Amir yang pertama tanpa Masjumi, tapi mengikutkan PSII.
Amerika Serikat mencatat, bahwa walaupun Perdana Menteri Indonesia adalah Amir Sjarifoeddin yang komunis, dan sejumlah Menteri dalam kabinetnya terdapat tokoh-tokoh komunis, tapi di lain fihak terdapat oposisi berupa kekuatan anti-komunis yang sedang kian tumbuh di Indonesia. Partai Islam Masjumi dan golongan Sosialis dibawah pimpinan Soetan Sjahrir serta kekuatan yang dipimpin Tan Malaka adalah kekuatan-kekuatan yang tidak bersimpati dengan Uni Soviet, bahkan anti PKI. Dengan demikian, sudah ada syarat-syarat untuk menghadapkan kaum komunis Indonesia dengan kekuatan anti-komunis Indonesia sendiri. Amerika tinggal memainkan peranan memberi arah perkembangan situasi, yang mengabdi pada pelaksanaan “the policy of containment”.
Sebagai Partai Islam, Masjumi adalah sangat tegas sejak semula anti komunis, anti URSS, anti Marxisme, anti Leninisme, anti sosialisme dan pro Amerika Serikat. Masjumi menjadikan Islam, agama sebagai dasar untuk menentang komunisme. Dengan demikian, Amerika mendapatkan sekutu atau teman sehaluan di kalangan Islam dengan inti Masjumi dalam melaksanakan “the policy of containment”nya di Indonesia.
Sesungguhnya, Kabinet Amir merupakan kabinet koalisi nasional yang kuat, yang terdiri dari Partai Sosialis 6 kursi, PNI 7 kursi, PSII 3 kursi, Non Partai 5 kursi, PBI 4 kursi, Parkindo, PKRI, PKI, SOBSI, golongan pemuda dan golongan Tionghoa masing-masing 1 kursi.. Program politik luarnegeri kabinet Amir adalah: a. Mempertahankan pengakuan de facto Negara Republik Indonesia, b. Berusaha sekuat-kuatnya melaksanakan secara damai Persetujuan Linggarjati, c. Berusaha agar Indonesia secepat mungkin harus ikut serta dalam persoalan hidup internasional sesuai dengan kepentingan kedudukannya dalam dunia.
Pemerintah Amir segera mengadakan kontak diplomatik dengan Belanda. Dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda ini, Perdana Menteri Amir sangat percaya kepada bantuan Pemerintah Amerika Serikat. Dalam pedatonya 6 Juli 1947, dia menyerukan agar seluruh pengaruh Amerika dipergunakan untuk memelihara perdamaian di Indonesia. Kabinet Amir percaya, bahwa Amerika sendiri mempunyai kepentingan di Indonesia, yaitu Amerika menganggap keamanan di Indonesia sebagai faktor penting untuk stabilitas politik dan ekonomi dunia. Sesungguhnya, Amerika takut, kalau-kalau pengaruh komunis makin meluas di Asia Tenggara.
Dalam langkah-langkah diplomatik yang diambil Pemerintah Amir, telah diberikan konsesi yang sangat banyak kepada Belanda, kecuali dengan tegas menolak usul gendarmerie bersama. Sikap Pemerintah Amir menolak gendarmerie bersama ini didukung oleh Badan Pekerja KNIP. Dalam keadaan perundingan sedang masih berjalan, 21 Juli 1947 Belanda menggunakan kekuatan pasukannya yang dipersenjatai dengan bantuan Amerika, menyerang daerah Republik Indonesia, dari darat, laut dan udara. Pertempuran berkobar di semua front. Di Jakarta, Belanda menduduki Kantor-Kantor Republik Indonesia, menangkap anggota-anggota delegasi yang berunding dengan Belanda, yaitu wakil Perdana Menteri A.K.Gani, Menteri Muda Luarnegeri Tamzil, Walikota Jakarta Suwirjo, Sekretaris Kabinet Ali Budiardjo.
Indonesia dilanda perang kolonial, yang terkenal dengan agresi pertama Belanda terhadap Republik Indonesia. Menghadapi berlangsungnya pertempuran di Indonesia itu, di PBB, bulan Agustus 1947, Amerika Serikat mengusulkan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) -- komisi jasa-jasa baik – sebagai perantara. Terbentuklah Komisi yang terdiri dari wakil-wakil Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia dan Amerika yang menjadi Ketua Komisi dipilih oleh Australia dan Belgia. Yang jadi Ketua Komisi adalah Frank Porter Graham, yang sejak semula bersikap menekan pimpinan Republik Indonesia, agar memberi bermacam konsesi kepada Belanda. Dengan demikian, Amerika telah langsung memainkan peranan menentukan dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda. Pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang menjadi benang merah politik luarnegeri Amerika sehabis Perang Dunia kedua segera merasuk ke Indonesia.
Untuk memperkuat dukungan menghadapi perundingan dengan Belanda, yang akan diselenggarakan lagi dengan pengawasan KTN, Perdana Menteri Amir mengajak lagi Masjumi masuk kabinet. Masjumi menerima tanpa mengajukan tuntutan apapun. Maka terjadilah reshuffle kabinet hingga susunannya menjadi: Partai Sosialis 7 kursi, PNI 8 kursi, PSII 3 kursi, Masjumi 5 kursi, PBI 4 kursi, PKI 1 kursi, PKRI 1 kursi, Parkindo 1 kursi, Non Partai 4 kursi, SOBSI 1 kursi, golongan Tionghoa 1 kursi, dan golongan pemuda 1 kursi. Perundingan dilangsungkan di kapal Amerika Serikat USS Renville, di Teluk Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Wakil Ketua: Ali Sastroamidjojo; anggota-anggota: Soetan Sjahrir, Dr Tjoa Siek Ien, Mr Nasroen, Ir Djuanda; anggota cadangan: Setiadjit; Penasihat 31 orang. Didalamnya terdapat wakil-wakil Masjumi dan PNI. Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wirjoatmodjo; Wakil Ketua: H.L.K.F. van Vredenburgh; tujuh anggota; dua orang sekretaris dan tiga pembantu.
Dalam proses perundingan, Belanda tetap menjalankan aksi-aksi militernya. Sementara itu Belanda mulai membentuk Negara Sumatera Timur, Negara Jawa Barat, Negara Jawa Timur. Daerah-daerah ini adalah daerah kedaulatan Republik Indonesia. Ini merupakan pelanggaran atas kedaulatan Republik Indonesia.. Karena merasa kuat di bidang militer, Belanda bersikeras dalam perundingan. Bahkan mengancam dengan ultimatum, agar Indonesia menerima 12 prinsip politik yang diusulkannya. Menghadapi sikap Belanda ini, KTN di bawah Frank Graham menambahkan 6 pokok tambahan sebagai jalan kompromi agar Indonesia menerima usul Belanda. Didalamnya termasuk rencana pelaksanaan pemungutan suara, berupa plebisit. Dalam keadaan terdesak oleh batas waktu ultimatum Belanda, rombongan KTN datang ke Jogya menemui pimpinan tertinggi Republik Indonesia. Untuk berlangsungnya pertemuan itu, Perdana Menteri Amir terbang ke Singapura menjemput Soetan Sjahrir, kemudian ke Pekanbaru menjemput Wakil Presiden Hatta. Maka KTN ditemui oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin serta Soetan Sjahrir dan Haji Agoes Salim. Dicapai saling pengertian, bahwa pada akhirnya akan diselenggarakan pemungutan suara sebagai penyelesaian terakhir sengketa Indonesia – Belanda. Para politisi Indonesia yang mengutamakan menempuh jalan diplomasi, merasa 6 pokok tambahan dari KTN itu dapat menguntungkan Republik, yaitu punya harapan dengan rencana plebisit. Dalam keadaan Indonesian di- ultimatum dengan ancaman serangan militer Belanda, Frank Graham menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak dapat menekan Belanda agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi dapat menekan untuk memastikan berlangsungnya plebisit nantinya. Karena itu, Bung Karno tampil dengan semboyan baru: “From the bullet to the ballot”. Berkat saling pengertian ini, maka 17 Januari 1948, tercapai Persetujuan Renville., yang ditandatangani oleh Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin. Menurut catatan L. Fischer, pembantu Menlu Dean Rusk mengenai urusan PBB, Belanda akhirnya baru menerima 6 pokok tambahan dari KTN sesudah Menlu Amerika George Marshall “secara terang-terangan menyatakan kepada Belanda, pandangan pribadinya”, bahwa dia takut akan berlanjutnya ketidak-stabilan, dan sikap bersikeras “hanyalah bisa membawa Indonesia ke bawah komunisme”. 2).Dari sini jelaslah, bahwa masalah penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, ditinjau Amerika dari pandangan bahaya menghadapi meluasnya pengaruh komunisme. Inilah titik-tolak realisasi “the policy of containment” dalam praktek. Dengan demikian, PERANG DINGIN telah merasuk ke Indonesia.
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, Panglima Besar Sudirman menerima Persetujuan Renville ini. Presiden Sukarno menyatakan: “Meskipun perjanjian penghentian permusuhan ini seakan-akan merugikan Republik, tetapi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang akan menguntungkan Republik. Jika kita dapat mencapai cita-cita kita dengan melalui jalan damai, buat apa kita harus berperang ?” Tapi dengan tidak diduga-duga, Masjumi menolak Persetujuan Renville dan menarik semua Menterinya dari kabinet. Ini disusul oleh PNI dengan sikap yang sama. Pimpinan Masjumi antara lain menyatakan, bahwa 1. Situasi Republik sangat tidak stabil, 2. Kabinet yang sekarang harus secara radikal dirobah. Ketua fraksi Masjumi dalam KNIP dalam konferensi pers menyatakan, bahwa Persetujuan Renville itu adalah masalah kedua; yang pertama adalah masalah mengganti kabinet. 15 Januari 1948, Masjumi menarik Menteri-Menterinya dari kabinet, karena tidak setuju dengan “gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik yang diterima oleh Pemerintah Amir”. Mundurnya Masjumi dari kabinet diikuti dengan demonstrasi pemuda Islam GPII di Jogyakarta, yang menuntut pengunduran Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri., menuntut pembentukan kabinet presidentil dan menolak Amir jadi Perdana Menteri. Amir Sjarifoeddin sangat kecewa mengenai sikap Masjumi ini, karena wakil Partai ini ikut dalam proses perundingan. 23 Januari 1948 Amir menyerahkan mandat kepada Presiden. Dan Presiden menugaskan Wakil Presiden Hatta untuk membentuk kabinet.
2. Kabinet Hatta Dan Penyingkiran Golongan Kiri.
26 Januari 1948 terbentuklah Front Demokrasi Rakyat (FDR), yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, PBI, Pesindo dan SOBSI. Amir Sjarifoeddin terpilih menjadi salah seorang pimpinannya. FDR menuntut kabinet presidentil Hatta dirobah menjadi kabinet parlementer., menentang program “rasionalisasi dan rekonstruksi” Angkatan Bersenjata. FDR tetap berusaha menggalang persatuan nasional.
12 Februari 1948, Soetan Sjahrir dan golongannya memisahkan diri dari Partai Sosialis, keluar dari “Sayap Kiri”dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Dalam Peraturan Dasarnya fasal 1 tercantum: Asas-tujuan: “PSI berdasarkan faham sosialis yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-Engels, menuju masyarakat sosialis yang berdasarkan kerakyatan”. PSI menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS dan negara-negara sosialis lainnya, menentang sistim kenegaraan URSS.. Sosialisme kerakyatan yang dimaksudkan PSI adalah “sosialisme yang menjunjung tinggi derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang. Penghargaan pada pribadi orang seorang didalam pikiran serta didalam pelaksanaan sosialisme. Penghargaan pribadi manusia serta pandangan yang demikian ini, yang sebenarnya menjadi inti ajaran dari segala pencipta sosialisme yang besar-besar, seperti Marx-Engles dsb. Sosialisme semestinya tiadalah lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya. Pada mana seharusnya tiap manusia sungguh merdeka, untuk menyumbangkan kehidupannya serta segala kesanggupan yang ada pada dirinya masing-masing. Sosialisme mestilah berhasil menciptakan keadaan pada mana hal-hal jasmani tiada lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan segala kesanggupan tiap manusia kepada kebajikan dan keindahan"” 3). Ditinjau dari bidang teori, pandangan ini telah mencampakkan ajaran klas dan perjuangan klas yang merupakan salah satu batu alas ajaran-ajaran Marx dan Engels, telah menempatkan pribadi perseorangan sebagai yang utama dan bukannya kolektivitas sebagai yang utama dalam membangun sosialisme. Ini jelas bukan ajaran Marxisme, tapi adalah liberalisme, yang menjadi “way of life” Amerika. Di bidang politik, PSI bukannya menempatkan URSS sebagai sahabat, tapi menyamakannya dengan Amerika Serikat sebagai kubu yang menjadi lawannya. Bahkan menentang diktatur proletariat yang dipraktekkan di URSS. Dan dalam politik praktis jadi bersahabat dengan Amerika Serikat, memusuhi URSS. Dengan demikian, PSI telah menempatkan diri sebagai unsur yang dibutuhkan Amerika Serikat dalam melaksanakan “the policy of containment”, membendung meluasnya pengaruh URSS, membendung komunisme di Indonesia, melancarkan PERANG DINGIN di Asia. Begitu terbentuk, PSI menyatakan mendukung kabinet Hatta, dan dengan keras menuduh Partai Sosialis “telah menyeleweng dari prinsip-prisnip semula”, “tidak mempunyai pimpinan yang stabil”, “telah memecah belah kekuatan nasional dan mengambil posisi yang tidak tepat terhadap kabinet Hatta”..
Terjadinya perpecahan dalam Partai Sosialis, tidak terlepas dari pengaruh menajamnya kontradiksi dalam gerakan sosialisme internasional. PERANG DINGIN telah mempertajamnya, hingga terjadi perpecahan dalam kerjasama antara kekuatan komunis dan sosialis di Eropa. Barat Bertentangan dengan Partai-Partai Komunis, Partai-Partai sosialis Eropa Barat mengambil sikap mendukung Plan Marshall yang dilancarkan Amerika Serikat untuk membendung pengaruh URSS, membendung komunisme di Eropa. Kaum sosial demokrat, yaitu Partai-Partai sosialis mengedepankan semboyan “jalan ketiga”, yaitu tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Demikian tajamnya pertentangan ini sampai merasuk ke dalam Kominform, yaitu badan kerjasama Partai-Partai Komunis dan Partai Pekerja Eropa Timur, URSS, Perancis dan Itali di bidang informasi. Liga Komunis Yugoslavia dipecat dari Kominform. Yugoslavia menempuh jalan tidak ikut URSS dan tidak ikut Amerika. Dan Yugoslavia tidak menentang Plan Marshall, malah mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Hal yang serupa terjadi di Indonesia dengan lahirnya PSI dibawah pimpinan Sjahrir. Semenjak kabinet pertama RI, dalam pemerintah terdapat kerjasama Menteri-Menteri komunis dan sosialis sampai kabinet Amir Sjarifoeddin. Kerjasama ini berobah dan memuncak jadi pecah semenjak lahirnya PSI. Bertolak belakang dengan politik PKI, politik “netral” atau “jalan ketiga” yang ditempuh PSI adalah sama dengan yang ditempuh kaum sosial demokrat Eropa Barat yang dalam prakteknya adalah memusuhi URSS dan bersahabat dengan Amerika Serikat. Dengan demikian, Amerika Serikat berhasil mendapatkan kekuatan lagi untuk melancarkan “the policy of containment”nya di Indonesia. Ini mempunyai jengkauan jauh ke depan untuk masa yang panjang. Kaum sosialis kanan menjadi salah satu tiang penyangga kekuatan komunisto-fobi dan pengaruh Amerika di Indonesia.
“11 Maret 1948 Menteri Seberang Lautan Belanda Jonkman sudah menyarankan kepada Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, supaya masalah membasmi komunisme dikemukakan kepada pimpinan Republik Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari wakil Amerika Serikat dalam KTN..” 4). Pada waktu itu, Van Mook menjawab, bahwa pengaruh komunis di Republik belumlah cukup kuat untuk membenarkan pembicaraan menyangkut hal ini.. Dengan terjadinya persetujuan Suripno mengenai pengakuan URSS atas Republik Indonesia, maka hubungan antara Republik Indonesia dengan kekuasaan negara komunis sudah menjadi lebih menonjol. 5).. Dalam keadaan Van Mook belum diizinkan Pemerintah Belanda untuk menjalankan “aksi polisionil” yang kedua – karena ini menyangkut Pemilihan Umum di Belanda dalam bulan Juli --, maka Van Mook memutuskan, bahwa perundingan selanjutnya dibawah pimpinan KTN sudah tak berguna, dan 3 Juni dia menyatakan kepada KTN bahwa akan menempuh berunding langsung dengan Perdana Menteri Hatta. 4 Juni 1948, Van Mook menulis surat kepada Hatta, mengundangnya untuk melakukan perundingan langsung. Hatta menjawab 8 Juni 1948, menyatakan bersedia bertemu dengan Van Mook secara informal, tapi pembicaraan dibawah pimpinan KTN tidak boleh dihapuskan.. Berlangsung tiga kali pertemuan antara Van Mook dan Hatta. Dalam pertemuan yang berlangsung tanggal 16-17 dan 23 Juni 1948, Van Mook meminta agar Hatta menjauhkan pemerintahnya dari persetujuan dengan URSS yang telah dicapai oleh Suripno.. Hatta menjawab, bahwa pemerintahnya tidak akan meratifikasi peretujuan ini, tapi tak akan mengumumkannya secara terbuka, karena takut akan mendapat kesan tidak baik dari Uni Soviet dan pemerintah-pemerintah komunis lainnya. .
Dalam bulan Agustus 1948 tersebar berita tentang berkobarnya pemberontakan bersenjata komunis di Malaya. Pemerintah Inggeris dan Amerika berbeda pandangan dalam hal menghadapi masalah ancaman komunis. Inggeris sudah membayangkan akan terjadinya “perebutan kekuasaan oleh komunis” di Indonesia. “Pejabat Kementerian Luarnegeri Inggeris seperti Dening mendesak Pemerintah Belanda supaya mencapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta, sebelum terjadinya perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. Pemerintah RI yang dipimpin komunis pasti akan membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Jika ini terjadi, Pemerintah Belanda supaya menjalankan aksi militer terhadap Republik Indonesia. Sebaliknya, jika tercapai persetujuan dengan Pemerintah Hatta sebelum kaum komunis merebut kekuasaan, ini akan menyebabkan Pemerintah Belanda berdiri di fihak Pemerintah Republik melawan kaum komunis.”.6). Dimata penguasa Inggeris, ancaman perebutan kekuasaan oleh kaum komunis adalah satu kesempatan untuk mendessak Belanda buat mencapai persetujuan dengan Indonesia. 7). “Dalam pada itu, bagi Amerika Serikat, obat mujarab bagi penyelesaian situasi Indonesia adalah memperkuat tangan Hatta yang moderat melawan kaum komunis”.8). Di kalangan penguasa Inggeris dan Amerika telah mateng fikiran tentang perebutan kekuasaan oleh kaum komunis di Indonesia, sebelum terjadinya “Peristiwa Madiun”. Tangan-tangan merekalah yang mengendalikan perkembangan situasi, hingga menjadi kenyataan dalam berita tentang apa yang dikatakan “pemberontakan komunis di Madiun” itu. Inilah realisasi “the policy of containment” di Indonesia.
20 Mei 1948, FDR bersama Masjumi, dan PNI memperingati hari “Kebangunan Nasional”. Kegiatan ini diteruskan dengan usaha untuk menyusun bersama suatu “Program Nasional”. Penyusunan Program Nasional dilakukan oleh sebuah Panitia yang terdiri dari: Mr. A.M.Tambunan (Parkindo), Sujono Hadinoto (PNI), Amir Sjarifoedin (Partai Sosialis), D.N.Aidit (PKI), Setiajit (PBI) M.Saleh Suhaidi (Masjumi) dan Maruto Nitimihardjo (Partai Rakyat). Mr. A.M.Tambunan menjadi Ketuanya. Amir Sjarifoeddin memegang peranan penting dalam rapat-rapat Panitia. Amir Sjarifoeddin menekankan agar dasar negara diambil saja “Pancasila”, “para petani harus memiliki tanah sendiri, oleh karena itu, setiap petani yang tidak memiliki tanah harus diberikan tanah kepadanya”. Tugas Panitia selesai tanggal 23 Juni 1948. 27 Juni 1948 diadakan pertemuan dengan Pemerintah dan wakil partai-partai untuk membicarakan Program Nasional yang telah dihasilkan Panitia. Pemerintah menerima baik rumusan Program Nasional. Dalam Program Nasional antara lain dirumuskan:”industri-industri vital harus dinasionalisasi tanpa ganti rugi, harus disusun undang-undang agraria yang baru dengan menekankan pemilikan perseorangan atas tanah tanpa sisa-sisa kekuasaan feodal”.
10 Juni 1948, Critchley, Australia, dan Du Bois, pengganti Frank Graham, wakil Amerika, mengajukan suatu “usul kompromi” untuk mendamaikan Republik dengan Belanda, dimana ditetapkan antara lain, bahwa akan dibentuk suatu pemerintah federal sementara, bahwa Angkatan Perang harus dikurangi, bahwa Republik akan menyerahkan kedaulatannya kepada pemerintah federal sementara dll. 9). 16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook. 10). 17 Juni 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa “usul Australia-Amerika dianggap oleh pemerintah Republik sebagai suatu hal yang baik” 11).
Juli 1948, Sekretariat Pusat FDR mengeluarkan sebuah rencana kampanye, memberikan petunjuk bagaimana kampanye untuk terbentuknya suatu pemerintah front nasional dijalankan dengan sebaik-baiknya. Rencana kampanye yang dikirimkan ke daerah-daerah dengan melalui pos itu, kemudian dipalsu, antara lain oleh harian MURBA, Solo, dimana ditambahkan seolah-olah rencana kampanye itu memuat soal “penggedoran, pencurian, pembunuhan, dll.” Pemalsuan ini, baik oleh Sekretariat FDR Surakarta maupun oleh sekretariat pusat FDR diadukan sebagai perkara kepada polisi, untuk diusut dan diadili. Tetapi fihak kepolisian maupun kejaksaan tidak mengurus pengaduan itu. Dokumen FDR ini juga diumumkan dalam semua harian di Jogjakarta, Juli 1948. 12).
2 Juli 1948, Komandan Divisi IV, Divisi Panembahan Senopati, kolonel Sutarto, dibunuh dengan tembakan pistol. 13). “…Amerika berkali-kali menyebut kolonel Sutarto dan jelas menamakannya sebagai musuh No. 1” 14)
Sejalan dengan ofensif PERANG DINGIN yang dikobarkan Amerika Serikat di Eropa dengan Plan Marshall, persiapan-persiapan pembentukan Pakta Militer NATO, membangun “jembatan udara” ke Berlin Barat, Amerika Serikat memperkuat petugasnya untuk menghadapi perkembangan Indonesia dalam rangka melaksanakan “the policy of containment”.di Asia.. Amerika Serikat menngganti wakilnya dalam KTN dengan Merle H.Cochran. Disamping itu, G.Hopkins (penasihat politik luarnegeri dari Presiden Truman), John Coast, Campbell, dan 5 “diplomat” lainnya, yang bertugas melaksanakan “the policy of containment” di Asia Tenggara, dipindahkan dari New Delhi dan Bangkok ke Jogjakarta. “Dalam perjalanannya ke Indonesia, Merle H.Cochran mampir di Belanda, mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Beel dan Menteri Luarnegeri Van Boetzelaer serta Menteri Urusan Seberang Lautan, Jonkman. Dalam pertemuan ini dibicarakan masalah bahaya komunis dan aksi-aksi subversi”. 15). Amerika khawatir dan telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi akan meluasnya pengaruh URSS ke Indonesia.
Sesudah menghadiri Festival Pemuda dan Pelajar Sedunia, memenuhi instruksi Presiden Sukarno dalam bulan Januari 1948, Suripno yang mendapat mandat, melakukan perundingan-perundingan di Praha mengenai pengakuan atas Republik Indonesia. Perundingan juga dilakukan dengan wakil Pemerintah URSS. Tercapai persetujuan, bahwa URSS mengakui Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Pengakuan ini tidak diratifikasi oleh Pemerintah Amir Sjarifoeddin, karena waktu itu berlangsung perundingan-perundingan dengan Belanda yang menyangkut masalah pengakuan de jure Indonesia yang dipersengketakan. Dalam Persetujuan Renville terdapat formulasi, yang menurut interpretasi Belanda, Republik Indonesia dilarang melakukan hubungan luarnegeri dengan bebas.
26 Mei 1948, Pemerintah URSS mengumumkan, bahwa telah meratifikasi persetujuan pengakuan atas Republik Indonesia dan akan membuka hubungan Konsulat. Bagi Pemerintah Hatta timbul masalah: membuka hubungan diplomatik dengan URSS atau tidak. Dengan mengakui, bahwa Republik Indonesia berada di daerah pengaruh Amerika Serikat, secara resmi, politik luarnegeri Hatta adalah menempatkan URSS dan Amerika Serikat dalam kedudukan setara, dan tidak memihak salah satu. Dalam paktek, Amerika telah menempatkan perwakilannya, bahkan campur tangan langsung menengahi pertikaian Indonesia Belanda. Tanpa mengambil keputusan mengenai pembukaan hubungan diplomatik dengan URSS, Hatta memanggil kembali Suripno pulang.
Pada pertengahan Februari 1948, Pemerintah Hatta mengeluarkan rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi angkatan perang, yang pada hakekatnya dan prakteknya ditujukan untuk: 1. Menyingkirkan unsur-unsur revolusioner dan progresif dalam kalangan militer. 2. Menempatkan sebanyak-banyaknya perwira-perwira yang dapat diterima oleh Belanda, supaya dalam perundingan mengenai militer dengan Belanda tidak mengalami kesulitan dan memudahkan pemasukan tentara federal kedalam Angkatan Perang RIS.
Pertengahan Februari 1948, kolonel A.H.Nasution datang di Jogya sebagai komandan Divisi Siliwangi yang hijrah dari Jawa Barat. Dengan datangnya pasukan hijrah ke daerah pusat pemerintah Republik, maka terjadi perobahan imbangan kekuatan antara pasukan yang pro dan kontra rasionalisasi yang direncanakan Pemerintah Hatta. Siliwangi menjadi pasukan elite yang mendukung pelaksanaan program rasionalisasi. Dan Nasution datang dengan membawa konsep struktur baru kekuatan bersenjata Indonesia dengan mengurangi kekuatan bersenjata teritorial menjadi tiga divisi di pusat daerah Republik Indonesia, ditambah dengan satu kesatuan cadangan yang mobil, termasuk divisi Siliwangi. Kekuatan bersenjata yang sebelumnya dipersenjatai dalam perbandingan satu senjata untuk tiga orang, dirobah menjadi tiap orang memegang senjata hingga mampu memiliki daya tempur offensif. Dengan demikian, TNI Masyarakat – kelanjutan dari Badan Perjuangan – harus didemobilisasi. Demikian pula pasukan-pasukan reguler yang tidak memenuhi syarat-syarat disiplin militer harus didemobilisasi. Reorganisasi ini menimbulkan pertentangan tajam, karena menyangkut perpindahan dan penggantian kedudukan kepemimpinan dalam pasukan. Pergesekan terjadi di kalangan para perwira yang tergabung dalam kelompok-kelompok pasukan bersenjata. Karena divisi Siliwangi mendapat kedudukan yang istimewa, yaitu status elite dari Pemerintah Pusat, maka timbullah iri hati antar pasukan. Banyak yang menggerutu, merasakan kesatuan-kesatuan yang berasal dari Jawa dianggap sebagai pasukan kelas dua. Ini adalah suatu langkah untuk melaksanakan rencana bersama dengan Belanda, buat pembentukan satu Tentara Federal yang baru. 4 Mei 1948 diumumkan satu dekrit Presiden mengenai rencana ini. Timbullah protes keras dari kalangan kekuatan bersenjata. 30 Komandan batalyon menemui Presiden pada tanggal 1 Juni 1948 untuk menuntut pencabutan dekrit ini. Sejumlah Panglima Divisi, terutama kolonel Sungkono dari Kediri dan kolonel Sutarto dari Surakarta menolak untuk menyerahkan kedudukannya.dalam rangka rasionalisasi. Rasionalisasi jadi bagaikan terbentur, karena Panglima Besar Sudirman mengeluarkan surat edaran kepada semua panglima, memerintahkan untuk menghentikan rasionalisasi, berhubung dengan meningkatnya ancaman dari fihak Belanda. 16).
Amerika Serikat merasa kurang puas dengan program Rasionalisasi dan Rekonstruksi; karena dianggapnya terlalu lambat, dan dengan segera menempuh usaha yang kasar, sebagaimana yang sudah dilakukannya di Eropa, Tiongkok, Birma, India dan lain-lain, yaitu dengan aktif mencampuri secara langsung soal dalam negeri Indonesia. Pada tanggal 21 Juli 1948 diselenggarakanlah konferensi Sarangan., yaitu pertemuan antara dua orang Amerika, tuan Gerard Hopkins, penasehat urusan politik luarnegeri dari presiden Truman, dan Cochran, wakil Amerika pada Komisi Jasa-jasa Baik PBB dengan enam orang Indonesia: presiden Sukarno, Mohamad Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto dan Roem”. 17).
Konferensi Sarangan yang rahasia itu telah menelorkan putusan yang bernama “Red Drive Proposals” (Usul-Usul Pembasmian Kaum Merah). Dengan Kaum Merah tidak hanya dimaksudkan kaum komunis, tetapi semua aliran dan elemen yang anti-imperialis. Tentang biaya untuk menjalankan “Red Drive Proposals” yang sudah disetujui kedua belah fihak itu, Pemerintah Indonesia menerima uang dari State Department (Kementerian Luarnegeri Amerika Serikat) sebanyak 56.000.000 dollar, yang diterima langsung dari Biro Konsultasi Amerika Serikat di Bangkok. Singkatnya, “Red Drive Proposals” adalah rencana yang diajukan kepada Pemerintah RI oleh petugas Pemerintah Amerika Serikat untuk membasmi gerakan demokrasi rakyat anti-imperialis. 18). Semenjak itu, ajakan-ajakan PKI untuk bekerjasama dengan Masjumi selalu ditolak. Dan Masjumi secara terbuka mengumumkan politik anti-komunisnya, serta dengan giat melancarkan propaganda anti-komunis.
“Red Drive Proposals” dipraktekkan dengan bermacam-macam provokasi. Tiap-tiap kejadian yang buruk dilemparkan kepada FDR atau kepada PKI. Secara provokatif gedung-gedung Pesindo, Partai Sosialis dan Sarbupri (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) di Sragen, Nganjuk, Tulungagung diduduki secara paksa oleh tentara. Pemogokan kaum buruh Delanggu yang menuntut sedikit perbaikan nasib ditindas dengan kekuatan senjata. Kesatuan Mobrig Bojonegoro yang dipimpin oleh Asmaun, anggota Partai Sosialis, dilucuti dan Asmaunnya sendiri dipindah ke Jogjakarta. Pemerintah mengirim R.Sukamto, Kepala Polisi Republik Indonesia ke Amerika. Untuk keperluan melakukan “pembersihan”, fihak pimpinan kepolisian minta bantuan Panglima Besar Sudirman, tapi ditolak dan oleh beliau diminta supaya pembersihan bersifat umum dan jangan hanya ditujukan kepada orang-orang kiri saja.
Serikat-Serikat buruh dipecah-belah dengan didirikannya Serikat Buruh Islam Indonesia, Serikat Buruh Nasional, Serikat Buruh Merdeka, Serikat Buruh Merah-Putih. Dewan Pimpinan Pemuda daerah-daerah dengan sengaja dikacau oleh “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” yang dibiayai Pemerintah dan dipimpin oleh Pamong Praja. “Gerakan Membangun dan Patuh Rakyat” ini persis mencontoh “Gerakan Hidup Baru” di zaman Jepang.
Program Rasionalisasi dan Rekonstruksi Pemerintah Hatta mendapat perlawanan dimana-mana. Di Jawa Timur 20.000 pemuda berdemonstrasi menentang rasionalisasi yang didasarkan penetapan Presiden No 13 yang tidak adil. Juga di Solo prajurit-prajurit dari kesatuan Panembahan Senopati (Divisi IV) sebanyak 5.000 orang pada peringatan Hari Kebangunan Nasional 20 Mei 1948 mengadakan demonstrasi menolak rencana Rasionalisasi dan Rekonstruksi.
Pemalsuan dokumen FDR berlangsung untuk memfitnah, bahwa FDR dan PKI mempersiapkan pemberontakan. 7 April 1948, suratkabar Murba menyiarkan dokumen palsu FDR, yang dinyatakan sebagai dokumen rahasia FDR mengenai usaha untuk menyabot Republik Indonesia. Dalam dokumen palsu FDR yang disebarkan itu dinyatakan bahwa: akan dilakukan aksi-aksi: “a. Rapat-rapat besar dan tertutup dengan mengadakan berbagai demonstrasi, b. Mengadakan pemogokan-pemogokan, c. Mengadakan kekacauan dengan menganjurkan perampokan dan penculikan, d. Perampasan kekuasaan”. 19).. Dokumen palsu inilah yang dijadikan dasar alasan Perdana Menteri Hatta, dalam pedatonya di depan Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948, menyatakan “PKI merebut kekuasaan di Madiun”. Sekretariat Pusat FDR sudah memberi bantahan dengan pengumuman di beberapa suratkabar di Jogja ketika mengetahui adanya dokumen palsu FDR yang disebarkan. Juga telah mengadukan masalah ini kepada fihak kepolisian di Solo. Program FDR telah disebarkan oleh Sekretariat Pusat FDR kepada FDR-FDR Daerah melalui pos, jadi tidak ada sifat kerahasiaannya.
3 Juli 1948 berlangsung teror pembunuhan terhadap kolonel Sutarto, Komandan Divisi IV. Sutarto adalah pengikut setia dari gerakan demokrasi rakyat, dan bersimpati sekali terhadap PKI. Tidaklah mungkin, FDR menteror dan membunuh seorang perwira penting yang memihak FDR. Sutarto adalah perwira yang dengan tegas menentang program Rasionalisasi dan Rekonstruksi. Sikapnya ini sangat merugikan pelaksanaan Program kabinet Hatta.
Pertentangan di kalangan kekuatan bersenjata kian menajam, sebagai akibat rasionalisasi program Pemerntah Hatta. Divisi Siliwangi menjadi kekuatan inti dalam melaksanakan program rasionalisasi itu. Awal Juni 1948, dengan mendapat restu Pemerintah Hatta, atas inisiatif Partai Buruh Merdeka, dan sejumlah organisasi yang pro Tan Malaka, didirikanlah organisasi politk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR). GRR secara terbuka menentang FDR. Tak lama sesudah pembentukan GRR, Pemerintah Hatta membebaskan para tahanan Peristiwa Juli 1946, -- Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan Amir--. Pada kesempatan peringatan ultah Hari Kemerdekaan, 17-8-1948, Pemerintah Hatta memberikan amnesti umum bagi semua yang dipenjarakan karena Peristiwa 3 Juli 1946. Maka dibebaskanlah tokoh-tokoh Front Perdjuangan: Muhammad Yamin, jenderal mayor Sudarsono, Achmad Soebardjo,, Iwa Kusumasumantri, Budiarto Martoatmodjo dll. 20). Disamping kekuatan Majumi dan PSI, kekuatan anti-komunis, anti-PKI, anti-FDR bertambah lagi dengan kekuatan pendukung golongan Tan Malaka.
5 Agustus 1948, Dr Muwardi dari Solo, dari Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) dipanggil Pemerintah untuk didengar keterangannya mengenai FDR, terutama mengenai kekuatan FDR.”Dr Muwardi mendapat biaya 3 juta ORI (Uang Republik Indonesia) untuk memancing suatu insiden militer, supaya kemudian pemerintah mempunyai alasan legal bertindak”.21).
3. Musso Kembali.
Awal Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia. 13 Agustus 1948, bersama Suripno, Musso menemui Bung Karno. Dalam pertemuannya, Bung Karno memeluk Musso, dan Musso memeluk Sukarno. Bung Karno berkata: “Kok awet muda ?” Jawab Pak Musso: “O, ya. Tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda”. Pembicaraan berjalan dengan lancar. Dengan bangga Bung Karno menceriterakan pada Suripno, tentang pergaulannya dengan Pak Musso dijaman yang lampau. Ia diantaranya menuturkan: “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia memang jago pencak. Juga orang yang suka musik. Kalau berpedato, ia akan nyincing lengan bajunya”. Agak panjang lebar ia mengutarakan riwayat pergaulannya dengan Pak Musso. Pembicaraa berlanjut, sampai pada soal Yugoslavia dengan Titonya, yang baru-baru ini menarik perhatian dunia. Apa sebab Tito dicaci maki oleh Kominform ? Mengapa Partai Komunis Yugoslavia dicela oleh Kominform ? Pak Musso menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sebisa-bisanya dan sejelas-jelasnya. Bung Karno bertanya: “Apakah yang dimaksud itu, bahwa Partai Komunis disana tidak memegang rol menjadi avantgardenya perjuangan rakyat Yugoslavia ?” Mendengar pertanyaan Bung Karno itu, Pak Musso ternganga dan dari mulutnya keluar kata-kata: “Lho, kok tahu ?”. Bung Karno membela diri dengan kata-kata: “Saya ini ‘kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto dan Pak Musso”. Ia untuk membuktikan itu lalu mengambil sebuah kitab yang dikarangnya, yaitu “Sarinah”. Ia menunjukkan halaman-halaman dimana ia mensiteer kata-kata Lenin, Stalin dan lain-lain, Buku itu lalu diberikan kepada Pak Musso sebagai tanda mata, dan dihalaman terdepan ia tulis: “Buat Bung Musso, dari Penulis. Djokjakarta 13-8-1948”. Sebelum berpisah, Bung Karno minta supaya Pak Musso suka membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi. Jawab Pak Musso tak panjang: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen !” 22).
Sekembalinya Musso ke Indonesia, alat-alat media massa di daerah pendudukan Belanda secara besar-besaran mempropagandakan berita-berita sensasional anti-komunis. Harian “Het Dagblad” di Jakarta menulis, bahwa “Musso kembali bukan saja dengan diiringi oleh Suripno, tapi dengan sebuah pasukan komando berjumlah 20 orang Russia, yang oleh Suripno ditinggalkan di Bangkok, dan selalu siap menunggu panggilan ke Jawa”. Harian “Niewsgier”, koran resmi Pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menulis: “Walaupun tak ada fakta-fakta, Musso yang telah tinggal 25 tahun di Russia, pulang tentu dengan membawa instruksi-instruksi dari Moskow !” Analisa-analisa yang demikian ditulis dalam berbagai artikel: “Musso dan para sahabatnya bisa dengan gampang menggunakan situasi yang sudah rumit di Indonesia demi kepentingannya. Dalam hubungan ini, surat kabar resmi di daerah pendudukan mengajukan pertanyaan: “Bisakah Pemerintah Hatta membendung meluasnya pengaruh Musso dan fikiran-fikirannya ataukah membiarkannya ?” 23).
Segera setelah kembalinya ke tanah air, Musso aktif bersama kawan-kawan lama dan baru membangun kekuatan revolusioner yang bersatu padu. Kedalamnya termasuk anggota-anggota CC PKI Sardjono, Alimin, Maruto Darusman, Suripno, pimpinan Partai Sosialis yang baru Amir Sjarifoeddin, Abdoelmadjid, Tan Ling Djie, Ketua Partai Buruh Indonesia Setiadjid dan banyak lainnya. 14 Agustus 1948, dalam organ Front Demokrasi Rakyat, “Revolusioner”, dimuat artikel Musso: “Usul-Usul Tentang Front Nasional”. Untuk pertama kali, sekembalinya di tanahair, Musso memaparkan rencana lebih lanjut mengembangkan revolusi pembebasan nasional atas dasar front persatuan nasional anti-imperialis. Dia menulis: “Kelemahan revolusi nasional kita sejak semula sampai sekarang ini adalah tidak adanya Front Nasional”. Sehubungan dengan ini, Musso menyerukan kepada segenap pimpinan partai-partai untuk secepatnya mengadakan perundingan. Dengan berdirinya Front Nasional, maka seharusnyalah dibentuk pemerintahan koalisi. “Kabinet harus dirobah menjadi kabinet Front Nasional yang terdiri dari wakil-wakil kalangan yang paling luas. Dengan demikian akan lenyaplah oposisi yang memperlemah persatuan dan pertahanan”.
16 Agustus 1948 dimuat tulisan Musso dalam organ “Revolusioner” mengenai selfkritik dalam Revolusi Nasional, mengenai. kesalahan-kesalahan prinsipieel dalam revolusi, dan mengenai jaminan kemenangan revolusi. Dikemukakan, bahwa wakil klas buruh Indonesia sekarang ini tidak menduduki tempat dalam pemerintah. Ini akan menyebabkan pemerintah tak akan menjalankan politik revolusioner anti-imperialis. Karena itu, terdapatlah bahaya yang nyata, bahwa republik akan jatuh ke dalam pengaruh imperialisme. Bahaya ini diperdalam lagi, karena masih dipertahankannya aparat-aparat kekuasaan kolonial, aparat yang pada hakekatnya anti rakyat; demikian pula belum diselesaikan tugas merobah kekuatan bersenjata menjadi betul-betul tentara rakyat, yang dibangun dari rakyat untuk membela rakyat. Menurut Musso, kesalahan umum revolusi kita adalah sejak semula bersifat defensif. Ini tampak dalam hubungan revolusi dengan hak milik kaum kolonial. Akibatnya ialah: tak terpecahkannya masalah agraria, tak berlangsung reform agraria. Selama tiga tahun semenjak pecahnya revolusi, Belanda terus menerus menyerang kita. Musso optimis, bahwa betapapun banyak kesulitan, revolusi pembebasan nasional mempunyai harapan untuk menang, jika dijamin adanya persatuan rakyat dan demokrasi di tangan negara. 24).
20 Agutus 1948 di Jogyakarta berlangsung rapat raksasa yang dihadiri 50.000 orang, dimana Musso berpedato. Pada saat itu telah berkembang kampanye anti-komunis dengan berbagai macam fitnah. Tapi, besarnya minat rakyat pada rapat raksasa ini menunjukkan meningkatnya pengaruh PKI dengan kedatangan Musso Untuk pertama kalinya, Musso berpedato di depan umum, mengemukakan pentingnya mengganti kabinet presidentil menjadi kabinet front nasional, dan demi kepentingan revolusi nasional, republik harus menggalang kerjasama dengan kalangan luas internasional yang memihak republik, terutama dengan URSS. Sebagai langkah pertama, Musso menyerukan untuk meratifikasi persetujuan penggalangan hubungan diplomatik dengan URSS secepat mungkin. Ini akan membantu untuk mematahkan blokade yang dilakukan Belanda. 25). Seruan Musso didepan rapat raksasa untuk meratifikasi hubungan diplomatik dengan Uni Soviet, jelas tidak menyenangkan Amerika Serikat. Dan Pemerintah Hatta juga tak berkenan melakukannya.
21 Agustus 1948, Politbiro CC PKI mengajukan inisiatif untuk menyatukan PKI dengan Partai Sosialis Amir Sjarifoeddin, dan Partai Buruh yang sudah tergabung dalam FDR, menjadi satu-satunya Partai Komunis Indonesia.. Dalam satu pernyataan khusus dinyatakan: “Politbiro CC PKI mengusulkan, untuk mengoreksi kesalahan di masa lalu, menyatukan tiga partai yang tergabung dalam FDR – PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh – supaya mendirikan satu-satunya partai klas buruh, yang sudah menggunakan nama yang historis – Partai Komunis Indonesia”. 26).
25-27 Agustus 1948 di Jogyakarta berlangsung Konferensi Luarbiasa PKI. Masalah pokok yang dibicarakan dalam Konferensi adalah laporan khusus Musso “Jalan Baru Untuk Republik Indonesia”, yang telah disetujui dalam sidang Politbiro CC PKI yang diperluas, yang telah berlangsung di Jogyakarta, 13-14 Agustus 1948. 27). Konferensi Luarbiasa ini mengesahkan rencana “Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia” yang merupakan selfkritik pimpinan PKI atas kesalahan-kesalahan prinsipiil dalam revolusi Indonesia di bidang organisasi, politik dan ideologi. Rencana Resolusi ini akan diajukan dalam Kongres Nasional ke V PKI untuk pengesahannya. Dalam rencana Resolusi ini antara lain dinyatakan: bahwa “…..tahun 1935 didirikan PKI illegal di Indonesia atas inisiatif sdr Musso. Selanjutnya PKI illegal ini memimpin perjuangan anti-fasis selama pendudukan Jepang. Kesalahan pokok di lapangan organisasi yang dibuat oleh organisasi illegal ialah, tidak dimengertinya perobahan-perobahan keadaan politik di dalam negeri sesudah Proklamasi Kemerdekaan. Sebenarnya, pada saat itulah, PKI harus melepaskan bentuknya yang illegal dan muncul dihadapan masyarakat Indonesia Merdeka dengan terang-terangan….Adanya sampai sekarang tiga partai klas buruh (PKI legal, PBI, Partai Sosialis) yang semuanya dipimpin oleh PKI illegal, yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme dan yang sekarang telah bergabung dalam FDR, serta telah menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, telah mengakibatkan membikin ruwetnya pergerakan buruh seumumnya. Hal ini sangat menghalangi kemajuan dan perkembangan kekuatan organisasi klas buruh, juga sangat menghalangi meluasnya dan mendalamnya ideologi yang konsekwen berhaluan Marxisme-Leninisme. Dengan demikian telah memberi banyak kesempatan kepada musuh klas buruh untuk menghalangi kemajuan pergerakan komunis dengan jalan mendirikan bermacam-macam partai kiri yang palsu dan memakai semboyan yang mestinya menjadi semboyan PKI (diantaranya: Perundingan atas dasar kemerdekaan 100%)….Berhubung dengan kesalahan-kesalahan yang mengenai asas dalam lapangan organisasi seperti tersebut di atas dan menarik pelajaran sebaik-baiknya dari kejadian di Yugoslavia, maka rapat-rapat Politbiro PKI memutuskan untuk mengadakan perobahan dengan radikal….Jalan satu-satunya untuk melikwideer kesalahan-kesalahan pokok itu dengan cara radikal ialah, diadakannya SATU partai yang legal dari pada klas buruh yang berdasarkan Marxisme-Leninisme. ….supaya diantara tiga partai yang mengakui dasar-dasar Marxisme-Leninisme yang sekarang telah bergabung dalam FDR serta menjalankan aksi bersama berdasarkan program bersama, selekas-lekasnya diadakan fusi (peleburan) sehingga menjadi SATU Partai klas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yaitu PKI. Konferensi juga memperkuat keputusan CC untuk membentuk organisasi massa yang baru, ialah “Lembaga Persahabatan Indonesia Soviet Unie”. Ini perlu sekali, karena di Indonesia terdapat sangat banyak orang yang bersimpati pada Soviet Unie dan yang masih segan memasuki PKI. Perlu sekali adanya lembaga itu, supaya rakyat jelata mengetahui lebih banyak tentang Soviet Unie, supaya rakyat jelata mempunyai kepercayaan lebih besar kepada pergerakan demokrasi rakyat yang dipimpin oleh Soviet Unie. Kekuatan Soviet Unie dan kekuatan-kekuatan anti imperialis lainnya di seluruh dunia sebenarnya adalah jauh lebih besar dari pada kekuatan bloc imperialisme yang dipimpin oleh USA, yang juga berniat menjajah kembali tanah air kita. Kesalahan di bidang politik luarnegeri, mempunyai akar yang dalam, semenjak meletusnya Perang Dunia kedua dan selama pendudukan Jepang, dan kemudian juga terpengaruh oleh pendirian yang salah dari partai-partai sekawan Eropa Barat, yaitu Perancis, Inggeris dan Belanda. Pada umumnya tidak dimengertinya perobahan yang besar di lapangan politik internasional dan perobahan keadaan di negerinya masing-masing sesudah Perang Dunia kedua berakhir. Selama Perang anti-fasis, semua kekuatan revolusioner bekerjasama dan bersatu dengan semua kekuatan anti-fasis, termasuk dengan pemerintah-pemerintah Amerika, Inggeris, Perancis, Belanda dll. Setelah Perang Dunia kedua berakhir dengan hancurnya ketiga negara fasis tadi, maka bagi Partai Komunis dinegeri-negeri kapitalis imperialis dan bagi perjuangan revolusioner di negeri-negeri jajahan sudah tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan kerjasama dengan pemerintah masing-masing. Apalagi sesudah ternyata, bahwa borjuasi di negeri masing-masing itu sudah mulai menggunakan cara-cara untuk menindas pergerakan kaum buruh dinegerinya sendiri dan perjuangan kemerdekaan di negeri jajahannya. Pada saat Perang Dunia kedua berakhir dengan hancurnya negeri-negeri fasis, maka perjuangan kemerdekaan di negeri jajahan harus dikobarkan dengan sehebat-hebatnya dan Partai Komunis di negeri penjajah harus menyokongnya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, …CPN (Partai Komunis Belanda) beranggapan, bahwa perjuangan rakyat Indonesia tidak boleh keluar dari batas dominion status dan oleh karenanya semboyan yang paling baik untuk Indonesia, menurut pendirian mereka ialah :”Unie-verband”, atau dengan perkataan lain: tetap tinggal dalam lingkungan “commonwealth” Belanda. Jadi Indonesia harus terus menerus “kerja bersama” dengan imperialis Belanda. Politik reformis ini, yang terutama dianut oleh kaum sosialis kanan (Soetan Sjahrir), hakekatnya adalah sangat membesar-besarkan kekuatan imperialis Belanda dan mengecilkan kekuatan revolusi Indonesia. Inilah akar penerimaan atas Persetujuan Linggarjati dan Renville….Kesalahan selanjutnya yang besar pula ialah, bahwa kabinet Amir Sjarifoeddin mengundurkan diri dengan sukarela dan dengan tidak ada perlawanan sama sekali.. Kaum komunis pada waktu itu tidak ingat akan ajaran Lenin: “Soal pokok daripada tiap revolusi adalah soal kekuasaan negara”. Berhubung dengan itu, Politbiro menetapkan, bahwa PKI dalam susunannya yang baru dengan tegas harus membatalkan Persetujuan-Persetujuan Linggarjati dan Renville. Penolakan persetujuan Linggarjati dan Renville berarti juga selfkritik yang keras di kalangan PKI. Dan pengakuan salah ini harus juga dipopulerkan dihadapan bagian terbesar massa rakyat. Adapun politik PKI terhadap Soviet Unie, sebulat-bulatnya menganjurkan supaya diadakan hubungan langsung dalam semua lapangan. Soviet Unie adalah sekutu yang semestinya dari rakyat Indonesia yang melawan imperialisme, karena Soviet Unie mempelopori perjuangan melawan blok imperialis yang dipimpin oleh Amerika Serikat Cukup jelas bagi kita, bahwa Amerika Serikat membantu dan mempergunakan Belanda untuk mencekek Republik kita yang demokratis. Dalam perjuangan melawan imperialisme ini PKI harus menghubungkan diri dengan pergerakan-pergerakan anti imperialis di Asia, Eropa dan di Amerika, terutama sekali dengan rakyat di negeri Belanda yang progresif, yang sebagian terbesar dari mereka di pimpin oleh CPN…. Tujuan PKI ialah mendirikan Republik Indonesia Serikat yang berdasarkan demokrasi rakyat, yang meliputi seluruh daerah Indonesia dan yang bebas dari pengaruh imperialisme asing serta tentaranya. Rencana Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia ini juga memaparkan masalah-masalah poltik dalam negeri: pemerintahan dalam negeri, kepolisian negara, pengadilan negeri, ketentaraan; masalah Front Nasional, masalah PKI dan dan daerah pendudukan, dan masalah ideologi. Mengenai ketentaraan dikemukan, bahwa sebagai alat kekuasaan negara yang terpenting, harus istimewa mendapat perhatian. Kader-kader dan anggota-anggota tentara harus diberi pendidikan istimewa yang sesuai dengan kewajiban tentara sebagai aparaat yang terpenting untuk membela revolusi nasional kita, yang berarti pula membela kepentingan rakyat pekerja. Tentara harus bersatu dengan dan disukai oleh rakyat. Tentara harus dipimpin oleh kader-kader yang progresif. Dengan sendirinya dan terutama kalangan kader-kadernya harus dibersihkan dari anasir-anasir yang reaksioner dan kontra-revolusioner.” 28). Dengan rencana Resolusi Jalan Baru, PKI telah mempersiapkan dasar pembangunan satu-satunya partai klas buruh, yaitu PKI; dan dengan tegas menyatakan bersatu dengan Uni Soviet untuk melawan imperialisme yang dikepalai Amerika. Bagi Amerika Serikat, ini betul-betul merupakan tantangan terhadap pelaksanaan stareginya membendung komunisme di Asia, yaitu pelaksanaan “the policy of containment”. Tentu saja PKIlah yang menjadi sasarannya untuk strategi sejagad membendung komunisme. Dengan telah terbentuknya kabinet Hatta tanpa ikutnya FDR, usaha Amerika untuk mencegah duduknya komunis dalam Pemerintah, telah menang selangkah. Kini tinggal mencegahnya masuk kembali, untuk kemudian membasmi seluruhnya.
1 September 1948 diumumkan susunan Politbiro CC PKI yang baru, dengan pembagian kerja sebagai berikut: Sekretariat umum: Musso, Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Ngadiman; Departemen Buruh: Harjono, Setiadjit, Djokosudjono, Abdul Madjib, Achmad Sumadi, Departemen Tani: A.Tjokronegoro, D.N.Aidit, Sutrisno; Departemen Pemuda: Wikana dan Suripno, Departemen Wanita: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Pertahanan: Amir Sjarifoeddin, Departemen Agitasi dan Propaganda: Alimin, Lukman dan Sardjono; Departemen Organisasi: Sudisman; Departemen Luarnegeri: Suripno; Departemen Perwakilan: Njoto; Departemen Daerah-Daerah Pendudukan: dipegang oleh Sekretariat umum; Departemen Kader-Kader Partai: sementara dipegang oleh Sekretariat Umum; Departemen Keuangan: Ruskak. 29).
Pimpinan PKI sangat sibuk dengan kampanye mempopulerkan putusannya yang dirumuskan dalam rencana Resolusi Jalan Baru Bagi Republik Indonesia. Dilakukan kunjungan ke berbagai kota dan daerah dengan melangsungkan rapat-rapat umum. Telah direncanakan bahwa Amir Sjarifoeddin bersama Musso dan rombongannya akan berkunjung sebagai berikut; 7 September , Solo; 8 September, Madiun; 10 dan 11 September, Kediri; 13 September, Jombang:; 14 September, Bojonegoro; 16 September, Cepu; 17 September Purwodadi; dan 24 September, Wonosobo.
4. Rasionalisasi “Pembersihan Atas Kaum Kiri” Dalam Tentara.
1 September 1948 pemerintah mulai dengan operasi di Solo di bawah pimpinan Letkol Wagiman, bekas Kepala Perhubungan Divisi IV, Alip Hartojo, penyelidik BPRI merangkap penyelidik pemerintah, Mayor Akil, Komandan penyelidik Siliwangi, Mayor Lukas dari Batalyon Siliwangi, Mayor Achmadi dari Batalyon KRU Pertahanan Kota. Berlangsung penculikan di Solo terhadap Slamet Widjaja dan Pardio, kedua-duanya kader PKI Solo. Slamet Widjaja memegang Sekretariat FDR Solo. Diberitakan bahwa penculikan dilakukan oleh gerombolanm “liar”. Tapi kemudian ternyata, Slamet Widjaja dan Pardio dimasukkan dalam kamp konsentrasi pemerintah di Jogja.
Dalam sebuah interviunya, 3 September 1948, jurubicara Pemerintah Hindia Belanda menyatakan, bahwa “Pertanyaan terpenting sekarang yalah, apakah Hatta bisa tahan terhadap Partai Komunis yang besar itu”. 30). 4 September 1948, menurut Antara-Aneta, Kementerian Luarnegeri Amerika menyatakan, bahwa Amerika Serikat akan melanjutkan pertolongannya kepada Pemerintah Hatta. 31).
9 September 1948 CC PKI mengajak pimpinan Masjumi dan PNI untuk mengadakan pertemuan demi memperkuat persatuan nasional. Dalam surat CC PKI itu dinyatakan, bahwa “Sekarang ini, sudah datang saatnya, untuk menciptakan persatuan yang kokoh, demi bersiap menghadapi segala kemungkinan yang tak terduga-duga datang dari fihak Belanda”. 32). Kedua Partai itu menolak ajakan PKI.
Penolakan Masjumi adalah sehubungan dengan putusan rapat pimpinan Masjumi 4-5 September 1948, yang telah memutuskan garis umum politik Masjumi pada syarat “situasi yang baru”, yaitu telah dirumuskannya pandangan bahwa “Islam tidak bisa menerima komunisme dan imperialisme”. Dalam syarat yang demikian, Dewan Pimpinan Masjumi mendukung Pemerintah sepenuhnya dan tanpa syarat “dalam tindakannya untuk melikwidasi anasir-anasir yang yang subvesif atas dasar politik kekerasan ‘tangan besi’ “ 33).
7 September 1948, Komandan Divisi IV, Letkol Suadi menugaskan Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Supardi untuk pergi mengusut penculikan-penculikan itu. Tetapi kelima-limanya tidak kembali, hanya sepeda mereka saja ditemukan di Srambatan, di markas Kompi Lukas dari Siliwangi. Letkol Suharman dari TNI Bagian Masyarakat yang ditugaskan untuk mengusut penculikan-penculikan itu pada tanggal 8 September 1948 juga hilang. Ternyata, pada tanggal 9 September 1948, Suharman di bawa ke Markas Batalyon Siliwangi di Tasikmadu dan dikumpulkan dengan Slamet Widjaja dan Pardio. Pada tanggal 19 September 1948 mereka dipindahkan ke Staf I Siliwangi Kletjo dan pada 24 September 1948 mereka dibawa ke penjara Wirogunan Jogjakarta.
Letkol Suadi meminta ketegasan sikap Pemerintah Pusat, mengenai penangkapan-penangkapan ini. Tetapi tidak mendapat perhatian. Panglima Besar Sudirman pada tanggal 8 September 1948 memberi izin kepada Letkol Suadi untuk mengambil tindakan terhadap kekacauan-kekacauan di Solo. Berdasarkan izin Panglima Besar Sudirman itu, 10 September 1948 disampaikan ultimatum kepada Batalyon Siliwangi. Komandan sektor seluruh Surakarta, Mayor Slamet Rijadi dengan kekuatan satu kompi dan dibantu oleh dua batalyon ALRI menyebarkan ultimatum itu yang isi pokoknya sebagai berikut: “Jika sampai pada tanggal 13 September 1948, pukul 14:00, 5 orang tawanan tidak dilepaskan, maka penggempuran akan segera dimulai”. Karena ultimatum tidak diindahkan, maka tanggal 13 September pukul 14:00 tepat pertempuran mulai meletus antara pasukan Siliwangi dengan Divisi IV dan ALRI yang menuntut supaya perwira-perwira yang diculik dikembalikan. Komandan Batalyon dari ALRI, Sutarno, gugur pada permulaan pertempuran. Pertempuran berlangsung sengit. Pukul 18:00 tanggal 13 Spetember 1948 Panglima Besar Sudirman memerintahkan supaya diadakan cease fire. Pelaksanaan perintah cease fire disaksikan sendiri oleh Menteri Pertahanan, Panglima Besar, pejabat dari Kehakiman Tinggi Militer, Residen Sudiro dan lain-lain. Perintah cease fire ditaati oleh Divisi Panembahan Senopati, tapi dengan diam-diam Komandan Siliwangi memerintahkan supaya seluruh kesatuan Siliwangi disekitar Solo bergerak menduduki Solo. Setelah ternyata bahwa pasukan Siliwangi tidak taat pada perintah cease fire, maka pada tanggal 15 September 1948 pukul 18:00 pasukan-pasukan Panembahan Senopati dan ALRI bergerak menggempur pasukan Siliwangi. Pelanggaran cease fire oleh Siliwangi dibenarkan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Letkol Suadi dengan semua pasukan yang di bawah komandonya dicap “pengacau”. Pemerintah menyerukan melalui radio dan surat-surat selebaran supaya rakyat membantu Siliwangi yang bertugas resmi.
7 September 1948, Musso, Amir Sjarifoeddin dan Setiadjit berada di Solo, ambil bagian dalam Kongres luar biasa Sarikat Buruh Gula (SBG). Kongres mendukung keputusan Presidium SOBSI 23 Agustus 1948, sehubungan dengan Jalan Baru yang diambil PKI.
8 September 1948, Musso dan sejumlah kawan lainnya berada di Madiun. Dalam satu rapat umum, Musso berpedato di depan massa mengenai masalah-masalah penting yang dihadapi revolusi nasional waktu itu. Di samping itu, diblejetinya pula usaha-usaha propaganda dalam dan luarnegeri yang memfitnah kaum komunis, yaitu yang mendiskreditkan kaum komunis dimata rakyat, sebagai kaum yang tidak patriotik. Dengan tandas Musso memaparkan garis umum PKI yang bertolak dari kepentingan pokok rakyat Indonesia, yang pada tingkat sekarang ini harus menyatukan semua kekuatan anti imperialis dalam satu front nasional demi memenangkan perjuangan melawan kemungkinan agresi Belanda. Dia menekankan, bahwa program ekonomi kaum komunis Indonesia adalah sejalan dengan fasal 33 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Membantah fitnahan musuh-musuh komunis mengenai hubungan komunis dengan agama, Musso menyatakan, bahwa kaum komunis menghormati kaum beragama, bersatu dengan mereka untuk memperkuat perjuangan melawan Belanda. Dikemukakannya, bahwa jika penganut agama Islam tidak mau lagi diperbudak kembali, maka justru sekarang datanglah saatnya untuk siap melakukan perang suci. Dengan tegas Musso membantah propaganda Pemerintah yang memfitnahnya, bahwa kedatangannya adalah “membawa instruksi dari Moskow”. Dikatakannya, bahwa politik kita dibangun atas dasar syarat-syarat kongkrit dan ciri-ciri revolusi kita.
Rencana perjalanan Musso dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya dalam bulan September adalah sangat padat. 10-11 September Musso dan Amir Sjarifoeddin sudah berada di Kediri, 13 September di Jombang, 14 September di Bojonegoro, 16 September di Cepu, 17 September di Purwodadi.
11 September 1948 di Jogjakarta berlangsung rapat umum yang diselenggarakan oleh Masjumi dan PNI.. Resminya dinyatakan sebagai rapat anti imperialisme, tapi isinya adalah anti-komunis. Di lapangan tempat rapat umum dibentangkan semboyan-semboyan “Kita tidak mau memihak Washington, maupun Moskow !”, “Bung Hatta, jalankan politik ‘tangan besi’!” 34).
Pada tanggal 16 September gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren diserbu oleh pasukan Siliwangi dengan memakai kedok Barisan Banteng. Berlangsunglah “pembersihan” dan pembunuhan sonder proses pengadilan Daerah Solo menjadi medan pertempuran. Panglima Besar Sudirman mengeluarkan order harian antara lain sebagai berikut: “Pada saat ini terjadi suatu peristiwa di Surakarta yang langsung menyinggung kedaulatan Angkatan Perang, yakni terculiknya anggota-anggota angkatan perang. Maka disini kami tegaskan: Angkatan Perang supaya bulat bersatu terhadap fihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan keaulatan Negara, dan harus serentak menghadapinya”. 35). Pada hari itu juga, Perdana Menteri Hatta berpedato dalam sidang BP KNIP. Dan di depan kira-kira 500 wakil partai-partai politik dan organisasi massa, secara terbuka Hatta menyerang PKI, menuduhnya berusaha “melibatkan Republik Indonesia dalam pertentangan antara Russia dan Amerika”. Pedato Hatta merupakan sinyal bagi berlangsungnya kampanye anti komunis secara besar-besaran. Pemerintah langsung ambil bagian dalam kampanye ini. 17 September 1948 Konferensi SBKA digedung SOBSI, Tugu, Jogjakarta, dikepung oleh pasukan-pasukan pemerintah dan pemimpin-pemimpin SBKA ditangkap.
Musso pada 14 September 1948 mau mengadakan ceramah di sositet HARMONI, Solo. Tetapi karena mendengar ketegangan-ketegangan yang ada di Solo, Musso yang yang sedang berada di Purwodadi mengirim kurir ke Solo, menanyakan keadaan di Solo, dan kurir itu dikirim kembali oleh Seksi Comite PKI Surakarta dengan usul kepada Musso supaya ceramah tidak dilanjutkan. “Rencana (Musso, Amir Sjarifoeddin, Wikana, dan Harjono) menetapkan untuk mengunjungi banyak kota-kota lainnya. Wonosobo ….. misalnya, akan harus mengadakan rapat umum dimana berbicara Musso pada tanggal 24 September. Kenyataan ini dicantumkan dalam laporan resmi kepada pemerintah pusat oleh Djawatan Penerangan Wonosobo”. 36).
13 September 1948, sebelum batas waktu ultimatum habis, yaitu pada jam 12:30, mayor Sutarno, yang datang ke markas fihak lain di Srambatan dengan membawa tugas dari Divisi untuk mnengadakan perundingan, ditembak ketika turun dari truk, sehinga mayor Sutarno beserta beberapa orang pengawalnya mati seketika. 37). Jam 14:00 tepat, divisi IV dan ALRI terpaksa memulai operasinya. Jam 18:00 datang perintah dari pemerintah pusat supaya diadakan gencatan senjata. Divisi Panembahan Senopati mentaati gencatan senjata, tapi pemerintah pusat malah mengirim balabantuan dari mana-mana ke Solo, untuk membantu fihak yang lain, fihak yang dihadapi oleh Divisi IV..
15 September 1948, karena gencatan senjata tak mungkin dipatuhi oleh satu fihak saja sedang fihak yang lainnya terus menerus melanggarnya, maka mulai jam 18:00 Divisi Panembahan Senopati dibantu oleh ALRI memulai lagi operasinya. Sementara itu, pemerintah pusat terus mengirim balabantuannya kepada fihak yang lain. 38).
15 September 1948, “Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan komunike yang menyatakan bahwa tiap-tiap aksi komunis adalah bertentangan dengan ketenteraman umum dan jatuh di bawah peraturan-peraturan hukuman, yang melindungi ketenteraman umum”. 39).
Dalam sebuah interviunya kepada wartawan FRANCE ILLUSTRATION, Van Mook menyatakan, bahwa “tetapi kita harus melakukan ini – bekerjasama dengan pemerintah Hatta --. Kalau tidak, kita akan menyerahkan Indonesia dengan sonder perlawanan sedikitpun kepada kaum avonturir dan kaum komunis”. 40).
16 September 1948, gedung Dewan Pusat Pesindo di Jalan Singosaren, Solo, diserbu dan diduduki oleh kaum pengacau. Pertempuran di Solo menghebat. Pada hari itu juga, Panglima Besar Sudirman mengeluarkan order harian, antara lain sebagai berikut: “Pada saat ini terjadi satu peristiwa di Surakarta yang langsung menyinggung kedaulatan Angkatan Perang, yakni terculiknya anggota-anggota Angkatan Perang. Maka disini kami tegaskan: Angkatan Perang supaya bulat bersatu terhadap fihak manapun yang berusaha mengacaukan atau melanggar kekuasaan dan kedaulatan Negara, dan harus serentak menghadapinya” Kepada Komanda CPM Jawa, Panglima Besar memerintahkan “untuk mengusut dan menuntut tindakan tegas terhadap pasukan yang menyerang satuan Korps Reserve Umum pada tanggal 13 Juli yang lalu. 41).
17 September 1948 Politbiro CC PKI mengadakan sidang di Jogyakarta. Antara lain membicarakan soal pertempuran di Solo. Politbiro memutuskan untuk berusaha keras supaya pertempuran di Solo dilokalisasi. Juga diputuskan mengutus anggota Politbiro Suripno, yang kebetulan akan berbicara didalam rapat yang diselenggarakan oleh Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia di Madiun, untuk menyampaikan kepada Musso, Amir Sjarifuddin dan anggota-anggota Politbiro lainnya yang sedang keliling Jawa, bahwa pertempuran di Solo harus dilokalisasi. 42). Pada hari itu juga, daerah Solo diumumkan dalam keadaan bahaya. Kolonel Gatot Subroto diangkat menjadi Gubernur Militer. 43).
Dari tanggal 17 sampai 21 September 1948 di Washington berlangsung perundingan Menteri Luarnegeri Amerika Serikat Marshall dengan Menteri Luarnegeri Belanda Stikker. Menjawab pertanyaan wartawan mengenai perspektif perkembangan komunisme di Asia Tenggara, Stikker menyatakan: “Justru itulah yang dibicarakan dengan Menlu Marshall”. Sambil menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap masalah itu, “dia menyatakan sebagai berikut: pertama, komunisme telah memperluas pengaruhnya di daerah yang dikuasai Belanda; dan di daerah Republik Indonesia; kedua, gerakan itu telah mengganggu negara-negara Barat untuk memperoleh bahan-bahan strategis dari Asia Tenggara, terutama dari Indonesia; ketiga, sebagaimanan Amerika Serikat mengakui bahaya kebangkitan komunis di Malaya, maka Amerika harus mengetahui dengan tepat, bahwa kekuatan Belanda ditujukan untuk membasmi komunisme di Indonesia”.44).
18 September 1948. Rapat SC PKI Jogjakarta di Jalan Gondomanan, Jogjakarta, yang juga dihadiri oleh anggota-anggota Politbiro Maruto Darusman, Lukman dan Njoto, sesudah semua hadir, terpaksa dibubarkan, mengingat pengalaman konferensi SBKA. 45). Pada hari itu, rombongan Musso, Amir Sjarifoeddin cs. sampai di Cepu, sebelum ke Magelang dan Purworejo, meneruskan rapat-rapat umumnya. Suripno berangkat ke Madiun dengan keretaapi pagi dari Jogja (kebetulan bersama-sama domine F.Harahap yang kemudian juga menyaksikan sendiri apa-apa yang seungguhnya terjadi di Madiun). Sementara itu keadaan di Madiun sejak beberapa waktu telah menjadi hangat, karena pasukan-pasukan yang dikirim langsung oleh pemerintah pusat menduduki pabrik-pabrik gula, mengadakan “latihan-latihan” sendiri sonder memberi tahu pasukan-pasukan TNI setempat, memukuli buruh Balai Kota dan menembak mati seorang buruh keretaapi Madiun yang pagi-pagi berangkat ke bengkel.
5. Bukan Mendirikan Pemerintahan Soviet, Tapi Pengangkatan Pemangku Residen.
19 September 1948, mulai jam 01:00 sampai 08:00, di Madiun, pasukan TNI setempat (Brigade 29) melucuti pasukan-pasukan yang dikirimkan pemerintah pusat dan pasukan Mobrig, suatu insiden yang bukan untuk pertama kalinya, bahkan sudah berkali-kali terjadi. Hari itu juga, di Kediri dilangsungkan Kongres PBI. Malamnya, membawakan suara Pemerintah Hatta, Presiden Sukarno mengucapkan pedato radio yang antara lain menyatakan, bahwa “kemarin pagi PKI-Musso, mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana satu Pemerintahan Soviet, dibawah pimpinan Musso”. Pedato itu langsung disusul oleh pedato Sultan Hamengku Buwono IX, yang menyerukan kepada penduduk untuk “secepat mungkin menghancurkan kaum pemberontak” 46). Karena Kongres mendengar pidato pemerintah yang diucapkan oleh Presiden dengan begitu tiba-tiba, maka sesudah disahkan peleburan PBI kedalam PKI, Kongres segera dibubarkan. Juga Kongres Partai Sosialis rencananya segera akan diadakan, sedang PKI sendiri akan mengadakan Kongresnya yang ke-V bertempat di Balai Prajurit, Ngabean, Jogjakarta, pada awal Oktober. 19 September 1948, Tan Ling Djie, Sekretaris Jenderal II PKI, yang sedang menyiapkan pedato untuk sidang BP KNIP esok paginya, ditangkap di rumahnya di Jalan Dieng 1, Jogjakarta. Juga anggota Politbiro, Abdulmadjid, ditangkap di Jogja, sedang Sekretaris-jenderal III dan IV, Maruto Darusman dan Ngadiman pun berada di Jogjakarta. 47). Adalah terang benderang, bahwa tuduhan terjadinya “coup oleh PKI dan didirikannya Pemerintah Soviet dibawah pimpinan Musso” adalah jelas tidak cocok dengan kenyataan. Ketika itu, Musso tak berada di Madiun, tapi di Cepu, dalam perjalanan menuju Magelang dan Purworejo.
Yang terjadi adalah: 19 September 1948, di Madiun, karena Residen ternyata bepergian, pada hal harus ada yang bertanggungjawab atas keamanan di daerah itu, maka wakil walikota Madiun, Supardi, atas usul organisasi-organisasi rakyat diangkat sebagai pemangku Residen. Pengangkatan itu ditandatangani juga oleh komandan teritorial, overste Sumantri, wakil Residen, dan Walikota Purbo. Kemudian, Overste Sumantri, Isdharto dan Supardi, atas nama pemerintah daerah mengirim kawat ke pemerintah pusat di Jogjakarta sebagai berikut: “Di Madiun terjadi perlucutan oleh kesatuan Brigade 29 atas batalyon Siliwangi dan Mobrig, berhubung dengan kepergiannya kepala daerah dan Walikota sedang sakit, untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah kami pegang, keadaan aman kembali. Minta instruksi-instruksi lebih lanjut. Laporan tertulis segera menyusul”. 48).
Tanggal 19 September 1948, pasukan polisi dan tentara daerah Jogjakarta menduduki semua kantor PKI, FDR, SOBSI. Juga percetakan tempat dicetaknya koran-koran PATRIOT, BURUH, SUARA IBU KOTA, REVOLUSIONER diperintahkan untuk menghentikan penerbitanannya. 49).49). Berita ANTARA, 20 September 1948. Dalam waktu yang pendek di Jogjakarta telah ditahan tidak kurang dari 200 orang, termasuk Tan Ling Djie, Alimin, Abdoelmadjid, Djokosoedjono, Sakirman dan lain-lain. 50). Dimana-mana, sebagai ganti plakat-plakat dan semboyan-semboyan FDR yang telah disobek, dipasang semboyan-semboyan: Kita hanya mendukung Pemerintah Sukarno- Hatta ! 51). Menyusul penangkapan-penangkapan di Jogjakarta, para pemimpin PKI dan FDR mulai ditangkapi di Jombang, Kediri, Blitar, Magelang, Purworejo, Pati, Cepu dan lain-lain. Di Magelang dilarang terbitnya harian PENGHELA RAKYAT. Di Kediri, pasukan pemerintah melucuti senjata Brigade 29, yang umumnya anggotanya terdiri dari anggota Pesindo. Komandannya Overste Dahlan berhasil meloloskan diri dari penahanan dan pergi ke Madiun. 52).
20 September 1948, Perdana Menteri Hatta meminta BP KNIP memberikan kekuasaan penuh kepada Presiden selama waktu tiga bulan dengan alasan: “PKI Musso telah mengadakan coup, perampasan kekuasaan di Madiun, dan mendirikan disana suatu pemerintahan baru sebagai permulaan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia”… “Tersiar pula berita – entah benar entah tidak – bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifoeddin Perdana Menterinya”. 53) Pada hari itu juga, dalam sidang BP KNIP itu hadir Mr Luat Siregar, anggota fraksi PKI, dan K.Werdojo, anggota fraksi Buruh, suatu hal yang mustahil terjadi sekiranya PKI punya rencana “memberontak”. Dalam sidang itu K. Werdojo menyatakan, bahwa “tidak setuju dengan rencana resolusi yang diajukan Pemerintah Hatta, karena tidak yakin, bahwa kejadian di Madiun adalah bertujuan untuk menggulingkan Pemerintah. Dalam peristiwa ini, yang salah bukan hanya FDR. Banyak golongan lainnya juga melakukan kesalahan”.Keputusan diambil dengan 25 suara setuju, satu menentang. 54). Dan pada hari itu, Ketua Masjumi, Dr Sukiman dalam pedato radionya mengumumkan ‘perang sabil’ terhadap PKI. 55).
22 September 1948, Komandan Brigade, letnan-kolonel Suharto, datang dari Jogja untuk menyaksikan sendiri keadaan di Madiun. Ia kembali ke Jogja membawa surat-surat dari berbagai kepala Jawatan yang menyatakan bahwa keadaan di Madiun aman dan normal, dan ia juga membawa pesan dari Musso supaya diajukan sebagai usul kepada pemerintah pusat: 1. untuk mengakhiri pertempuran, dan bersama-sama melawan Belanda, 2. Program Nasional supaya dijadikan program pemerintah dan dasar untuk membentuk kabinet front nasional. 56). Pada hari itu juga, jenderal mayor Djokosujono mengadakan pedato radio di Madiun, dimana ia menyerukan kepada semua komandan TNI di Jawa Timur untuk menghindarkan perang saudara, dan untuk bersama-sama melawan Belanda. 57).
23 September 1948, Amir Sjarifoeddin dimuka corong Radio Madiun mengatakan: “Perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak lebih tidak kurang daripada gerakan untuk mengoreksi jalannya revolusi. Maka itu dasarnya tetap sama dan tidak berobah. Revolusi menurut pendapat kita tetap berwatak nasional, yang dapat disebut revolusi burjuis demokratis. Konstitusi kita tetap sama; bendera kita teteap Merah Putih;sedang lagu kebangsaan kita tidak lain daripada Indonesia Raya”. 58). Pada hari yang sama, Menteri Agama, tokoh Masjumi, K.H.Masjkoer menyatakan, bahwa “perebutan kekuasaan oleh Musso di Madiun adalah bertentangan dengan agama dan adalah perbuatan yang hanya mungkin dijalankan oleh musuh Republik”. Pimpinan Partai Masjumi menyerukan pada tanggal 24-9-1948 kepada segenap anggota untuk “mendukung Pemerintah dan membantu menindas pemberontak PKI Musso dan FDR serta membasmi pemberontak dan pengkhianat negara.” 59)
25 September 1948, Sjahrir menerangkan, bahwa dia menganggap perspektif untuk perundingan dengan Belanda menjadi lebih baik. 60).
New York Herald Tribune, 26 September 1948 menulis, bahwa beberapa minggu yang lalu Tan Malaka dan pengikut-pengikutnya dilepaskan, untuk keperluan pembentukan suatu blok anti-Musso yang kuat di dalam Republik Indonesia. “Suatu provokasi dari trotskis Tan Malaka memberikan alasan kepada Pemerintah Jogja untuk melikwidasi elemen-elemen komunis dari Angkatan Perang”. 61). Senafas dengan Prof. G.Mct.Kahin, Prof. W.F.Wertheim menulis; “apa yang disebut pemberontakan komunis di Madiun,Jawa Timur, adalah mungkin tak lebih dan tak kurang dari provokasi yang dilakukan elemen-elemen anti-komunis.” 62).
1 Oktober 1948, Menteri Penerangan Moh.Natsir menyatakan, bahwa Pemerintah Hatta akan lebih berorientasi ke negara-negara Barat dan khususnya Amerika, untuk mendapat bantuan. 63).
6. Pembasmian Seluruh Pimpinan Utama PKI.
24 September 1948 pasukan pemerintah menduduki dan membersihkan Sarangan. 25 September 1948 Tegal. 26 September 1948 Kementerian Pertahanan mengumumkan, bahwa seluruh daerah Jawa Timur termasuk Madura berada dibawah kontrol pasukan pemerintah. 30 September 1948 Madiun diduduki pasukan pemerintah. Musso, Amir Sjarifoeddin dan sejumlah tokoh lainnya mundur dari Madiun ke darerah Dugus, 9 km dari Madiun dan ke Kandengan, 16 km dari Madiun.64). 28 Oktober 1948 rombongan terakhir sejumlah 1500 orang “pemberontak” ditangkap. 31 Oktober 1948 di Ponorogo, dalam satu pertempuran, Musso tertembak mati. 29 November 1948, di desa Penawangan, 19 km dari Purwodadi, Djokosoejono ditangkap bersama Maroeto Daroesman dan Sardjono. 1 Desember 1948 di desa Klambu, 20 km dari Purwodadi, dalam keadaan luka, Amir Sjarifoeddin ditangkap. Juga Suripno dan Harjono. 7 Desember 1948, Markas Besar TNI mengumumkan bahwa “sudah dihancurkan seluruh” kaum pemberontak dan ditangkap sebanyak 35.000 orang.
Sesudah ditahan beberapa waktu di Jogjakarta, maka Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawannya dikembalikan ke Solo dan dipenjarakan di sana. Dalam rapat kabinet tanggal 18 Desember 1948 dibicarakan tindakan yang akan diambil terhadap pemimpin-pemimpin PKI jika Belanda mengadakan agresi militernya. Hadir pada waktu itu hanya 12 orang Menteri. Dalam sidang tersebut, empat orang Menteri menghendaki agar Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawanya ditembak mati; empat orang lagi berpendapat supaya Amir Sjarifoeddin dan kawan-kawanya dibebaskan (jangan ditembak); empat orang lainnya tidak memberikan suara.. Kemudian Presiden Sukarno keluar dengan vetonya, bahwa Amir dan kawan-kawannya tidak boleh ditembak. 65). Tapi, 19 Desember 1948 malam, di kala Belanda mulai melancarkan agresi kolonialnya yang kedua, jam 23:30 telah dijalankan hukuman mati, atas sebelas tokoh PKI dan FDR dengan ditembak: Amir Sjarifoeddin, Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku di desa Ngaliyan, kelurahan Lalung, Kabupaten Karanganyar, Keresidenan Surakarta. Eksekusi berlangsung tanpa proses pengadilan.
Dalam pembelaannya dimuka Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 24 Februari 1955, D.N.Aidit memaparkan peristiwa penembakan ini sebagai berikut: “Pada waktu itu kawan Amir Sjarifoeddin berpakaian piyama putih strip biru, celana hijau panjang, dan membawa buntelan sarung; kawan Maoeto Daroesman berpakaian jas coklat dan celana putih panjang; kawan Suripno berbaju kaos dan bersarung; kawan Oey Gee Hwat bercelana putih, kemeja putih dan jas putih yang sudah kotor; kawan lainnya yalah Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono dan D.Mangku.
Sambil menunggu lubang selesai digali, Kawan Amir Sjarifoeddin menanyakan kepada seorang kapten TNI yang ada disitu: Saya mau diapakan ?
Jawab kapten itu: Saya tentara, tunduk perintah, disipilin.
Setelah selesai lubang digali, orang-orang yang menggali disuruh pergi dan yang disuruh tinggal hanya 4 orang yang kemudian ternyata digunakan untuk menguruk lubang itu kembali.
Kemudian seorang letnan menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer kolonel Gatot Subroto mengenai pembunhan atas 11 orang itu.
Bung Amir menanykan antara lain: apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan-kawan saya ?
Letnan itu menjawab: Saya timggal tunduk perintah.
Kawan Amir bicara lagi: Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih ?
Letna: Tidak usah banyak bicara.
Kawan Djokosujono menyisip: Saya tidak menyalahkan saudara, tetapi dengan ini negara rugi.
Letnan memerintah anak buahnya supaya masing-masing mengisi bedilnya.
Kawan Amir menghampiri si Letnan, sebelum sampai ia terpeleset sedikit, sambil menepuk badan Letnan ia berkata: Beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar.
Letnan menjawab: Boleh, tapi cepat-cepat !
Kawan Suripno menyisip: Apa saya boleh mengirimkan surat untuk isteri saya, biar ia tahu.
Letnan: Ya tidak keberatan.
Kemudian kawan-kawan menulis surat. Sesudah selesai, surat-surat itu satu persatu diserahkan kepada Letnan.
Sesudah surat diserahkan, bersama-sama 11 orang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
Setelah selesai bernyanyi bung Amir menyerukan: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia ! Aku mati untukmu !
Kawan Suripno: Saya bela dengan jiwa saya, aku untukmu !
Kemudian mulailah kesebelas orang yang gagah berani itu ditembak satu persatu, dimulai dengan menembak kawan Amir Sjarifoeddin, kemudian kawan Maroeto Daroesman, Oey Gee Hwat, Djokosujono, dan seterusnya”: 66).
Harapan Amerika Serikat untuk membendung meluasnya pengaruh komunisme di Indonesia terwujud. PKI, yang baru saja bangkit dalam gelora revolusi Agustus 1945, dengan satu peristiwa, yaitu “Peristiwa Madiun”, telah kehilangan seluruh pimpinan utamanya. Peristiwa ini bukanlah pelaksanaan program PKI. Tapi pelaksanaan “the policy of containment” – politik membendung komunisme – yang dilancarkan Amerika Serikat. Amerika berhasil mendapatkan dan menggunakan kekuatan anti-komunis Indonesia untuk membasmi kaum komunis Indonesia. Dengan demikian, PKI telah menjadi korban perdana PERANG DINGIN di Asia, jauh mendahului Perang Korea dan Perang Vietnam, yang dikobarkan Amerika demi membendung komunisme.
Keterangan bibiliografi:
1).Audrey R.& George McT.Kahin, SUBVERSION AS FOREIGN POLICY – The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia --, The New Press, New York, 1995, hal. 30-31.
2). L.Fischer, THE STORY OF INDONESIA, New York, 1959, hal. 104-105.
3). DASAR DAN PANDANGAN POLITIK PSI, hal. 43, pasal 9.
4). Secret telegram, No. ZGCO 32, from Jonkman to Van Mook on 11 March, Van Mook Collection 92; dikutip dalam Yong Mun Cheong: H.J..VAN MOOK AND INDONESIAN INDEPENDENCE: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relations, 1945-48, hal. 177.
5).Idem.
6).Secret telegram , No.512, from D.U. Stikker, the newly elected Foreign Minister, to Schuurman on 15 September 1948, Van Mook Collection 94, Idem, 181.
7). Idem, hal 181.
8). Secret telegram, No 716, from Van Kleffens to Stikker on 10 September 1948, Van Mook collection 94, Idem, hal. 181.
9).Dari brosur 5 MINGGU SEBELUM MADIUN AFFAIR, susunan Derita S.P., penerbitan Sarkawi, Medan. 16 Juni 1948, dilangsungkan pertemuan informil antara Hatta dan Van Mook. . 10). LUKISAN REVOLUSI, hal. 363.
11).Harian NASIONAL, 18 Juni 1948.
12). BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hal. 5.
13). Harian NASIONAL, 6 Juli 1948.
14). Roger Vailland, dalam bukunya BOROBOUDOUR, penerbitan Paris, 1951, hal. 159. BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, hal. 6.
15). Joop Morrien, INDONESIE LOS VAN HOLLAND, Pegasus, Amsterdam, 1982, hal. 145.
16).Baca: Anthony Reid, THE INDONESIAN NATIONAL REVOLUTION 1945-1950, Longman Australia Pty Limited, 1974, hal. 135..
17). Roger Vailland, dalam bukunya BOROBOUDOUR, bab “La Nuit de Sarangan”, hal. 154.
18). Baca: TIGA TAHUN PROVOKASI MADIUN, tulisan Mirajadi dalam majalah Teori dan Politik Marxisme-Leninisme, BINTANG MERAH, Tahun ke-VII, No 12-13, 1951, hal. 39-52.
19). Frederiek Djara Wellem, AMIR SJARIFOEDDIN – Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan --, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hal 228.
20). Berita ANTARA, 17-8-1948.
21). Mirajadi: TIGA TAHUN PROVOKASI MADIUN, majalah Bintang Merah, No 12-13, Tahun ke-VII, 1951, hal. 42.
22). Majalah REVOLUSIONER, Kemis 19-8-1948, tahun ke-III No 14.
23). E.Kh.Kyamilyev: ZAVOYEVANIYE INDONEZIYEI NYEZAVISIMOSTI,-- Kemenangan Indonesia Merebut Kemerdekaan--, Izdatyelstvo Nauka, Glavnaya Redaktsiya Vostocnoi Lityeraturi, Moskwa, 1972, hal. 209.
24). Musso: UNTUK SELFKRITIK DALAM REVOLUSI NASIONAL, dimuat kembali dalam Majalah Teori dan Politik Marxisme-Leninisme BINTANG MERAH, Tahun ke-VIII, Agustus 1952, hal. 1-10.
25).Lihat berita ANTARA, 21-8-1948.
26). Berita ANTARA, 23-8-1948.
27). Supplement I dari Buku Lampiran Fakta dan dokumen-dokumen untuk menyusun buku ”INDONESIA MEMASUKI GELANGGANG INTERNASIONAL”, Jakarta, 1958, hal. 17.
28).Teks DJALAN BARU UNTUK REPUBLIK INDONESIA, Rentjana Resolusi, sebelum ada perobahan-perobahan dari sidang Pleno CC PKI Oktober 1953.
29). Berita ANTARA, 1 September 1948.
30). Aneta, 3 September 1948.
31). Harian NASIONAL, 4 September 1948.
32). Berita ANTARA, 9-9-1948.
33). Baca Berita ANTARA, 7 dan 9-9-1948.
34). Berita ANTARA, 11-9-1948.
35). BUKU PUTIH TENTANG PERISTIWA MADIUN, disusun dan diterbitkan oleh Departemen Agitprop CC PKI, cetakan kedua, 1954, hal. 13.
36). George McKahin, NATIONALISM AND REVOLUTION, hal. 186.
37). BUKU PUTIH, hal.11.
38). Dokumentasi SC PKI Surakarta.
39). KEESINGS HISTORISCH ARCHIEF, tahun 1946-1948 hal. 7749.
40). Interviu Van Mook kepada E.A.Miguel Gaudfernau, “envoye special” dari FRANCE ILLUSTRATION, September 1948.
41). Harian NASIONAL, 16 September 1948.
42). Dokumentasi Politbiro CC PKI.
43). LUKISAN REVOLUSI, hal 366.
44). E.Kh.Kyamilyev: ZAVOYEVANIYE INDONEZIYEI NYEZAVISIMOSTI, Izdatyelstvo Nauka, Glavnaya Redaktsiya Vostocnoi Lityeraturhi, Moskva, 1972, hal. 210-211.
45). Dokumentasi SC PKI Jogjakarta.
46). Berita ANTARA, 20-9-1948.
47). BUKU PUTIH, hal. 15.
48). BUKU PUTIH, hal. 16. .
49). Berita ANTARA, 20 September 1948.
50). Brackman A.C. INDONESIAN COMMUNISM. A History, New York, 1963, hal. 94.
51). Berita ANTARA, 20-9-1948.
52). Berita ANTARA, 21-9-1948
53). BAHAJA MERAH DI INDONESIA, Penerbit Front Anti Komunis, Djalan Pungkur 73, Bandung, 1954, hal. 47.
54). Berita ANTARA, 21-9-1948
55). Keesings Historisch Archief, tahun 1946-1948, hal. 7759.
56). Majalah BINTANG MERAH, No 12-13 tahun 1951, hal. 47-48
57). Keesings Historisch Archief, tahun 1946-1948, hal. 7760.
58). Harian FRONT NASIONAL, Madiun, 24 September 1948.
59). Berita ANTARA, 20 dan 24-9-1948.
60). Keesings Historisch Archief, tahun 1946-1948, hal. 7778.
61). Roger Vaillant, dalam BOROBOUDOUR, September 1948, hal. 73.
62). Prof. W.F.Wertheim, INDONESIAN SOCIETY IN TRANSITION, A Study Of Social Change, Second Revised edition, N.V Uitgeverij W. Van Hoeve, ‘s-Gravenhage, 1959, hal. 83.
63). BUKU PUTIH, hal. 20
64). Harian SIN PO 1-10-1948.
65). Ds.F.K.N.Harahap, AMIR SJARIFOEDDIN, dalam majalah KOMUNIKASI, 10 Februari 1971, hal. 26.
66). AIDIT MENGGUGAT PERISTIWA MADIUN, Pembelaan D.N.Aidit Dimuka Pengadilan Negeri Djakarta, tgl 24 Februari 1955, Yayasan PEMBARUAN, Djakarta, 1955, hal. 31-32