Ada yang mengejutkan dalam Madilog, tanpa reserve Tan Malaka mendukung pemikiran Barat. Madilog adalah "pusaka yang saya terima dari Barat". Dengan penegasannya bahwa pemikiran "Timur" harus ditinggalkan Tan Malaka sangat mirip dengan seorang putra Sumatera Barat lain, Sutan Takdir Alisyahbana.
Ada yang mengherankan, kedekatan konsepsi Tan Malaka dengan hukum tiga tahap August Comte tadi. Menurut Comte manusia menjadi dewasa melalui tiga tahap: dari tahap mitos dan agama (kejadian di dunia dijelaskan dengan kekuatan-kekuatan gaib), melalui tahap metafisika (realitas dijelaskan secara filosofis), ke tahap positif di mana manusia langsung mempelajari kenyataan inderawi dengan memakai ilmu pengetahuan. Pandangan Comte itu sendiri sekarang dianggap mitos abad ke-19. Orang sudah lama tidak lagi percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menyelamatkan umat manusia. Dalam hal ini pemikiran Tan Malaka masih khas optimisme abad ke-19 dulu.
Itulah masalah Madilog. Kerangka pikiran adalah kepercayaan polos abad ke-19 pada ilmu pengetahuan. Dan konsepsi Madilog sendiri diambil alih dari materialisme dialektis Engels, Lenin dan kawan-kawan, yang dalam filsafat kontemporer dianggap tidak mutu (lain daripada materialisme historis Marx!). Terasa sekali bahwa Tan Malaka seorang otodidak yang rupa-rupanya tak pernah sempat untuk mendiskusikan pandangan-pandangannya dengan seorang pengkritik.
Namun sebaiknya kita tidak terlalu terpikat pada yang tersurat itu. Nilai Madilog yang tersirat di dalamnya, yaitu dalam keprihatinan mendalam Tan Malaka atas keadaan bangsanya yang belum berpikir rasional. Seluruh Madilog merupakan imbauan agar bangsa Indonesia mau ke luar dari cara berpikir tidak rasional supaya ia dapat mengambil tempatnya di antara bangsa-bangsa besar. Sampai Tan Malaka dalam Madilog dengan panjang lebar menguraikan metode-metode pendekatan ilmiah dan dalil-dalil logika seakan-akan ia mau sekaligus menulis buku teks "pengantar logika" atau "ilmu alamiah dasar".
Sulit untuk melihat apa yang sekarang, di permulaan abad ke-21, masih dapat dipelajari dari Madilog. Sebagai penunjuk jalan Madilog waktu ditulis pun sudah jauh ketinggalan. Bukan sebagai buku pelajaran, melainkan sebagai saksi semangat berkobar-kobar pembebasan dari keterbelakangan Madilog tetap masih membesarkan hati.
Tetapi barangkali arti paling penting buku itu terletak dalam kenyataan bahwa kita ditantang olehnya untuk memikirkan kembali apa itu rasionalitas, dan rasionalitas macam apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Dan kalau betul bahwa mitos harus dibuang (dan memang betul!), lalu apa tempat agama dalam kerohanian bangsa yang mau membangun kehidupan bersama yang maju, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab?
Ada yang mengherankan, kedekatan konsepsi Tan Malaka dengan hukum tiga tahap August Comte tadi. Menurut Comte manusia menjadi dewasa melalui tiga tahap: dari tahap mitos dan agama (kejadian di dunia dijelaskan dengan kekuatan-kekuatan gaib), melalui tahap metafisika (realitas dijelaskan secara filosofis), ke tahap positif di mana manusia langsung mempelajari kenyataan inderawi dengan memakai ilmu pengetahuan. Pandangan Comte itu sendiri sekarang dianggap mitos abad ke-19. Orang sudah lama tidak lagi percaya bahwa ilmu pengetahuan dapat menyelamatkan umat manusia. Dalam hal ini pemikiran Tan Malaka masih khas optimisme abad ke-19 dulu.
Itulah masalah Madilog. Kerangka pikiran adalah kepercayaan polos abad ke-19 pada ilmu pengetahuan. Dan konsepsi Madilog sendiri diambil alih dari materialisme dialektis Engels, Lenin dan kawan-kawan, yang dalam filsafat kontemporer dianggap tidak mutu (lain daripada materialisme historis Marx!). Terasa sekali bahwa Tan Malaka seorang otodidak yang rupa-rupanya tak pernah sempat untuk mendiskusikan pandangan-pandangannya dengan seorang pengkritik.
Namun sebaiknya kita tidak terlalu terpikat pada yang tersurat itu. Nilai Madilog yang tersirat di dalamnya, yaitu dalam keprihatinan mendalam Tan Malaka atas keadaan bangsanya yang belum berpikir rasional. Seluruh Madilog merupakan imbauan agar bangsa Indonesia mau ke luar dari cara berpikir tidak rasional supaya ia dapat mengambil tempatnya di antara bangsa-bangsa besar. Sampai Tan Malaka dalam Madilog dengan panjang lebar menguraikan metode-metode pendekatan ilmiah dan dalil-dalil logika seakan-akan ia mau sekaligus menulis buku teks "pengantar logika" atau "ilmu alamiah dasar".
Sulit untuk melihat apa yang sekarang, di permulaan abad ke-21, masih dapat dipelajari dari Madilog. Sebagai penunjuk jalan Madilog waktu ditulis pun sudah jauh ketinggalan. Bukan sebagai buku pelajaran, melainkan sebagai saksi semangat berkobar-kobar pembebasan dari keterbelakangan Madilog tetap masih membesarkan hati.
Tetapi barangkali arti paling penting buku itu terletak dalam kenyataan bahwa kita ditantang olehnya untuk memikirkan kembali apa itu rasionalitas, dan rasionalitas macam apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Dan kalau betul bahwa mitos harus dibuang (dan memang betul!), lalu apa tempat agama dalam kerohanian bangsa yang mau membangun kehidupan bersama yang maju, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab?